Minggu, 25 Desember 2011

Tafsir al-Maraghi


TAFSIR AL-MARAGHI
(MATAKULIAH TASFSIR KONTENPORER DI TIMUR TENGAH)
Oleh : Apipudin
NIM: 10.2.00.1.05.08.0061
DOSEN: TEAM TEACHING
PROF. YUNAN
PROF. HAMDANI ANWAR
PROF. SALMAN









Graduat School
Syarif Hidayatullah State Islamic Unversity
Jakarta-Indonesia
TAFSIR AL-MARAGHI
(KARYA MUS}T}AFA AL-MARAGHI)



A. Pendahuluan
Tafsir al-Maraghi meupakan tafsir kontenporer di Timur Tengah, atau tafsir mutaakhir. Dikatakan demikian karena tafsir ini lahir pada abad ke 20an[1]. Al-Maraghi adalah salah satu murid dari Muhammad Abduh penulis tafsir al-Mannar yang bercorak rasionalis. Sehingga tidak diragunakan lagi Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi dalam menfasirkan ayat-ayat Allah swt, yakni al-Qur’a@n didominasi logika. Hal ini sangat cocok pada kondisi masyarakat Mesir ketika itu. Mungkin tafsir ini merupakan jawaban al-Maraghi pada masalah yang sedang berlangsung. Sebab sudah dapat dipastikan bermunculannya karya tafsir, dari masa-ke masa merupakan refleksi dari jawaban mufa^sir terhadap persoalan yang ada. Ini juga salah satu bukti bahwa al-Qur’a@n dapat dijadikan sumber jawaban pada persoalan yang sedang berlangsung pada masanya.
Cara mufa@sir menggali al-Qur’a@n, dengan tujuan menangkap maksud Allah yang tertuang di dalmnya, tidak terlepas dari 4 metodologi[2], yaitu; ijmali, maudhu’i, muqarin, dan tahlili. Masing-masing metode itu mempunyai karakteristik tersendiri, baik dari sisi lebih maupun kurang. Metode ijmali@ kelebihannya, terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Penafsiran yang menggunakan metode ini lebih cocok bagi pemula dan bagi orang yang ingin belajar tafsir dengan singkat. Hal lain yang termasuk kelebihan dari metode ijmali, yaitu; bebas dari penafsiran israiliat, akrab dengan bahasa arab, artinya antara teks al-Qur’a@n dengan penafsiran tidak jauh berbeda, jika enggan mengatakan, hanya sinonim[3]. Adapun kekurangan dari metode ijmali@ adalah terkesan al-Qur’a@n bersifat farsial, padahal al-Qur’a@n merupakan kesatuan yang utuh. Kekurangan lain yaitu tidak menyediakan ruanglingkup untuk mengemukakan analisis yang dalam.
     Dalam menangkap maksud Allah swt yang tertuang di dalam al-Qur’a@n dari masa ke masa tidak ada habisnya, laksana air laut yang tidak pernah habis baik di musim kemarau apalagi dimusim hujan. Berbagai metode digunakan oleh para mufa@sir namun semuanya tidak terhindar dari sisi lebih dan sisi kurang, dan keduanya itu menjadi karakteristik metode tersebut. Metode penafsiran al-Qur’a@n bukan hal yang baru sejak masa s}ahabat sudah ada. Hal itu terbukti pada cara s}ahabat menafsirkan yang berbeda-beda[4]. Sebaagian s}ahabat dalam menafsirkan al-Qur’a@n hanya berpedoman kepaada riwayat semata, tidaak mau menggunakan ijtihad. Sementara sebagian yang lain, di samping menafsirkan ayat dengan hadits-hadits yang diterimanya dari Nabi atau dari sesamanya, mereka menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya, di samping mereka menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan al-Qur’a@n dengan berpegang teguh kepada kekuatan bahasa Arab dan asbab an-nuzul[5]. Sehingga pembaca historis turunnya ayat, tetapi terkesan al-Qur’a@n hanya berlaku pada zaman itu.      
Namun berbagai usaha pendekatan dilakukan semuanya hanya berlaku pada masanya, dan terkesan kaku[6]. Padahal al-Qur’a@n lahir untuk membimbing[7] manusia kearah yang lebih baik di dunia dan kebahagian di akhirat. Berdasarkan hal itu mufa@sir setelahnya berusaha keras untuk menafsirkan al-Qur’a@n yang dapat menjawab masalah pada zamannya. Pada umunya tafsir yang lahir abad 20 silam menggunakan pendekatan yang didominasi lagika, sehinga terkesan al-Qur’a@n membumi[8], hidup di alam realitas.      
Dari masa ke masa kemajuan terus berkembang dan persoalan pun semakin rumit yang membutuhkan jawaban. Sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Nabi, S}ahabat dan tabi’in, pada generasi berikutnya lahir dan harus dijawab. Latar belakang itu yang memberi motivasi pada para mufa@sir untuk segera menafsirkan al-Qur’a@n yang dapat persoalan yang ada pada zamannya. Hampir semua mufa@sir dalam menafsirkan al-Qur’a@n dilatar belakangi atas permohonan umat yang kehausan jawaban dari masalah yang dihadapi.
Di abad 20an bermunculan tafsir yang dalam penafsirannya didominasi ijtihad, hal itu sangat lumrah karena ulama pada masa itu harus menjawab persoalan yang tidak ada pada teks al-Qur’a@n maupun riwayat, atau ijtihad ulama sebelumnya. Ternyata hasil ijtihad ulama pada abad 20an ini tidak sia-sia, bahkan dapat merubah mindset (pola pikir) manusia pada masanya. Perbedaan sangat jelas antara tafsir klasik dengan tafsir kontenporer. Namun sungguhpun demikian lahir tafsir kontnporer merupakan terinspirasi atas tafsir-tafsir terdahulu. Pada tafsir ini hanya memasukan yang sebelumnya tidak ada dan membuang sesuatu yang tidak perlu. Pada umumnya tafir kontenporer lebih pleksibel dalam menafsirkan ayat. Terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, namun tetap tidak mengaburkan makna al-Qur’a@n secara harfiah.
Baik kontenporer maupun klasik ada satu kesaam mufasir dalam menafsirkan ayat, yaitu metode, corak, dan sumber. Artinya secara umum mufasir dalam menafsirkan ayat semuanya tidak terlepas dari 4 metode, dan dua sumber yaitu ijtihadi atau riwayat. hanya saja setiap mufasir beerbeda-beda dalam menggunakan sumber. Ada mufasir yang hanya cenderung mengedepankan riwayat, ada juga yang hanya ijtihad, dan aja juga yang memakai keduanya. Yang memakai keduanya, satu sama lain saling mendominasi. Ada tafsir yang memakai dua sumber namun sumber ijtihad lebih mendominasi. Di sisi lain ada tafsir yang memakai keduanya tetapi riwayat yang sangat mendominasi.
Bagaimana dengan tafsir al-Maraghi? Jelas karena tafsir ini termasuk alah satu tafsir yang lahir pada abad 20, hampir dapat dipastikan dalam sumber penafsiran menggunakan dua sumber tetapi ijtihad lebih mendominasi. Artinya al-Maraghi dalam penafsiran tidak membuang riwayat tetapi seleksi atas riwayat yang menurutnya s}ahih, dan penafsiran ulama-ulama terdahulu yang menurutnya penafsiran israiliat. Sehingga al-Maraghi dalam menafsirkan terhindar dari penafsiran-penafsiran israiliat. Lebih jelasnya penulis akan mendeskrifikan penafssiran al-Maraghi dalam menafsirakan al-Qur’a@n berdasarkan analisa penulis. Dalam menganalisa penulis menggunakan data primer dan sekunder, data primer yaitu tafsir al-Maraghi sendiri dan data sekunder yaitu kitb atau buku dan yang lainnya yang memberikan informasi tentang tafsir tersebut.    
Dalam menganalisa sebuah kitab tafsir tidak akan mendapatkan informasi yang cukup, jika penulis kitab itu sendiri tidak diangkat. Karena itu selain penulis akan menginformasikan deskrifsi kitab tafsir juga akan menyuguhkan biografi penulis, dengan harapan pembaca merasa puas atas tulisan yang penulis sajikan.    


B.   AHMADMUSTHAFA AL-MARAGHI DAN TAFSIRNYA

Biografi al-Maraghi
1. Nama dan Nisbah al-Maraghi
Sudah menjadi maklum setiap ulama terkenal nama selengkapmnya sering tersembunyi. Karena pada umumnya namanya sering dinis}batkan pada nama orang tua atau tempat di mana beliau dilahirkan. Yang dinis}batkan kepada orang tuanya seperti Imam Shafi’iy[9], dan ada juga yang dinis}batkan pada nama tempat tingalnya seperti Bukhari[10]. Begitu juga dengan al-Maraghi sama dengan ulama yang lainnya. kenamaan al-Maraghi dinisbatkan pada nama tempat di mana beliau dilahirkan. Maka tidak anaeh jika nama al-Maraghi bukan satu, banyak sekali seseorang yang ditambahi nama al-Maraghi. Adapun al-Maraghi yang penulis maksud adalah Ahmad Mustafa ibn Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun`im al-Qadi al-Maraghi. Ia dilahirkan di al-Maraghah, sebuah kabupaten di tepi barat sungai Nil, Propinsi Suhaj, 70 km arah selatan kota Kairo pada tahun 1300 H/1883 M, dan wafat di Hilwan, sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Kairo pada tahun 1371 H/1952 M, pada usia 69 tahun[11]. Julukan Al-Maraghi bukan kata yang menunjukkan marga atau nisbah yang disandarkan pada nama keluarga, sebagaimana kata ‘al-Hasyimiy’ yang menunjukkan keluarga dan keturunan Hasyim, melainkan disandarkan nama tempat di mana ia dilahirkan[12]. Karena itu, nama al-Maraghi, bukan serta merta menunjukkan yang bersangkutan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Abdul Mun`im al-Maraghi (kakek Ahmad Musthafa al-Maraghi). Dalam kitab Mu`jam al-Mu'allifîn karya Umar Ridha Kahlanah, ditemukan biografi 13 tokoh yang memakai julukan al-Maraghi, dan kesemuanya tidak memiliki pertalian darah dengan tokoh yang sedang kita kaji[13].
Dalam wacana, sering terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi antara Muhammad Musthafa al-Maraghi dengan Ahmad Musthafa al-Maraghi. Di dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan Ikhtiar Baru Van Hove misalnya, disebutkan bahwa Tafsir al-Maraghi yang terdiri dari 30 juz adalah karya Muhammad Musthafa al-Maraghi, demikian pula dalam pengantar terjemahan Tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa penulis tafsir tersebut adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar Kairo. Kedua keterangan ini keliru sebab penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung Muhammad Musthafa al-Maraghi yang pernah menjadi pemimpin tertinggi di Universitas tertua itu. Pada beberapa tempat nama Ahmad Musthafa al-Maraghi, kadang ditambahkan dengan kata Beik. Hal ini ditemukan antara lain pada kitab al-Fihris al-Maktab al-Azhariyyah, dan pada piagam penghargaan yang diberikan oleh Raja Mesir, Faruq. Nama al-Maraghi pada dua tempat tersebut ditulis dengan Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik[14].

2. Pendidikan al-Maraghi
Rumah merupakan sekolah pertama (madrasah al-U#la) karenanya sebelum sampai pada usia sekolah, al-Maraghi mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga, sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Hal ini karena ia terlahir dalam lingkungan tradisi keilmuan yang sangat kental. Ayahnya, Musthafa al-Maraghi adalah seorang ulama besar dan cukup terkenal di Mesir pada masanya[15]. Keberhasilan Musthafa al-Maraghi di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, termasuk atas Ahmad Musthafa al-Maraghi, terlihat pada jelmaan anak-anaknya di kelak kemudian hari. Hasan Zaini menuturkan bahwa Ahmad Musthafa al-Maraghi adalah seorang dari 9 orang bersaudara, dan semuanya menjadi orang besar, lima orang di antaranya menjelma menjadi sosok akademisi, dan empat orang saudaranya yang lain menjelma menjadi hakim[16]. Mereka yang menjadi akademisi adalah: a. Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjabat Rektor Universitas al-Azhar selama dua periode; tahun 1928-1930 dan 1935-1945, b. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maragh, c. Abdul Aziz Al-Maraghi, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan Imam Raja Faruq, d. Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar, dan e. Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar.
Sementara putera Musthafa al-Maraghi yang menjadi hakim adalah a. Muhammad Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo, b. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo, c. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan Tinggi Kairo, dan d. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan wakil Menteri kehakiman di Kairo.
Data di atas dapat dikatakan sebagai bukti bahwa sejak masa kecilnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi telah menjalani proses pendidikan non formal di bawah bimbingan orang tuanya, sebagaimana yang diterima oleh saudarasaudaranya yang lain. Setidaknya, sang ayah, Musthafa al-Maraghi, telah menanam dan menumbuhkan semangat pengabdian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan agama, sekaligus cikal bakal pengetahuan yang dapat dikembangkan ke depan.
Setelah menginjak usia sekolah, Ahmad Musthafa al-Maraghi, menempuh pendidikan formal dengan memasuki madrasah di tempat kelahirannya, Maraghah. Bukan hanya madrasah saja, ia pun menamatkan pendidikan menengahnya di tempat yang sama. Selama dalam pendidikan dasar dan menengah, Ahmad Musthafa al-Maraghi telah memperlihatkan antusiasme untuk mendalami al-Qur’an. Ia memperbaiki bacaan, belajar tajwid, menghafal ayat-ayat al-Qur’an sehingga sebuah prestasi besar sebagai dasar utama bagi seorang mufassir telah ia raih dalam usia yang masih sangat beliau. Dalam usianya yang ke-13, ia telah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Pada usianya yang ke-14 tahun atau tepatnya tahun 1897, al-Maraghi diperintahkan orang tuanya untuk pergi ke Kairo agar belajar di Universitas al-Azhar. Fokus perhatian untuk menjadi seorang mufassir pun nampak kian jelas. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Arab, Balaghah, Tafsir, dan Ilmu al-Qur'an, Ushul Fiqh, Hadits dan Ulum al-Hadits. Kiranya akumulasi dari penguasaan atas ilmu-ilmu inilah yang mendudukkan Ahmad Musthafa al-Maragi sejajar dengan mufassir-mufassir ternama. Di samping menempuh pendidikan formal di Universitas al-Azhar, pada waktu yang bersamaan, Ahmad Musthafa al-Maraghi juga mengikuti pendidikan di Fakultas Darul Ulum Kairo yang belakangan tergabung dalam Univeritas Kairo (Cairo University). Padatahun 1909, al-Maraghi merampungkan pendidikannya di kedua universitas itu secara bersamaan. Pendidikan tinggi yang ia jalani di dua perguruan tinggi ternama di negara piramid itu mempertemukannya dengan banyak ilmuwan terkenal pada masa itu. Nama-nama populer seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bahits al-Muthi’i, Ahmad Rif’i al-Fayumi, dan Muhammad Husnin al-Adawi, adalah para guru yang telah mengantar Ahmad Musthafa al-Maraghi menjadi sosok mufassir yang terkenal[17].

3. Karir Intelektual Al-Maraghi
Al-Maraghi, adalah salah seorang tokoh terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam usianya yang terbentang selama 69 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain sebagai tenaga pengajar/dosen, sumbangsih al-Maraghi juga diberikan lewat karyakaryanya. Jasa inilah yang memposisikan al-Maraghi sebagai putera terbaik yang dilahirkan pada masanya. Ahmad Musthafa al-Maraghi, menetapkan dunia pendidikan dan pengembangan ilmu agama sebagai pilihan untuk mengabdi ilmunya. Karena itu, segera setelah lulus sebagai sarjana, ia memulai karirnya di dunia pendidikan sebagai seorang guru/pendidik di beberapa sekolah menengah. Kemudian ia diangkat menjadi Direktur Madrasah Mu'allimin di Fayum sebuah kota yang berjarak kurang lebih 300 km ke arah barat daya Kota Kairo. Kemudian pada tahun 1916 diangkat menjadi dosen ilmu-ilmu Syari`ah di Fakultas Ghidrun di Sudan sebagai utusan dari Universitas al-Azhar[18].6 Tahun 1920, ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu Syari’ah di Darul Ulum sampai tahun 1940. Di samping itu, ia juga dipercaya mengajarkan Mata Kuliah Ilmu Balaghah di Fakultas Adab Universitas Al-Azhar-Kairo. Selama mengajar di dua Universitas yang bertaraf internasional itu, ia telah menularkan ilmunya kepada mahasiswa yang berasal dari berbagai negara Islam, termasuk dari Indonesia. Adapun pemikir Islam Indonesia yang pernah menjadi muridnya adalah Bustami Abdul Gani, Muchtar Yahya, Mastur Djahri, Ibrahim Abdul Halim, Abdul Rajaq al-Amudy, dan mungkin masih banyak lagi. Selama hidupnya, Ahmad Mustafa al-Maraghi tidak hanya mendalami al-Qur’an dan tafsirnya saja, tetapi lebih dari itu dia menguasai berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika
karya-karyanyapun tidak terbatas pada bidang tafsir saja. Selain karya fenomenalnya berupa tafsir al-Qur’a@n 30 juz ini, al-Maraghi juga banyak menuangkan pikirannya melalui berbagai tulisan, yaitu[19]:
a. al-Fath al-Mubîn fî Tabaqât al-Ushuliyyîn
b. Ulûm al-Balâghah
c. Hidayah al-Thâlib
d. Tahzîb al-Taudlîh
e. Buhûts wa Ârâ’
f. Târîkh `Ulûm al-Balâghah wa Ta`rîf bi Rijâlihâ
g. Mursyîd al-Thullâb
h. al-Mûjaz fî al-Adab al-`Arabî
i. al-Mûjaz fî `Ulûm al-Ushûl
j. al-Diyânân wa al-Akhlâq
k. al-Hishbah fî al-Islâm
l. al-Rifq bi al-Hayawân fî al-Islam
m. Syarh Tsalâtsin Hadîtsan
n. Tafsir Juz Innamâ al-Sabîl
o. Risâlah fî Zaujât al-Nabî
p. Risâlât Itsbât Ru’yah al-Hilâl fî Ramadhân
q. al-Khutabâ fî Daulah al-Ummawiyyah wa al-`Abbâsiyyah, dan
r. al-Muthâla`ah al-`Arabiyyah li al-Madâris al-Sudâniyyah Sejumlah karya Ahmad Musthafa al-Maraghi yang disebutkan di atas, merupakan gambaran nyata tentang komprehensifitas ilmu-ilmu keislaman yang ia kuasai.
Seperti terlihat di jajaran karya-karyanya di atas, yang nyaris merepresentasikan semua disiplin ilmu keislaman, seperti fiqh dan ushul fiqh, sejarah, tafsir, hadits dan lain lain. Bahkan karya-karya tersebutmengesankan diri AhmadMusthafa al-Maraghi memiliki perhatian besar (kepedulian) terhadap persoalan lingkungan hidup, seperti binatang. Hal ini dibuktikan dengan salah satu tulisannya yang berjudul al-Rifq bi al-Hayawân fî al-Islâm. Namun demikian, dari sekian banyak karyanya, yang paling menonjol adalah karya tafsirnya yang dikenal dengan Tafsir al-Maraghi, yang terdiri dari 10 jilid. Karya ini yang mengantar dirinya meraih popularitas di dunia Islam, pada umumnya.

C. Kondisi Sosial dan Corak Pemikiran al-Maraghi
1. Kondisi Sosial di mana al-Maraghi Hidup
Berdasarkan biografi yang telah dipaparkan sebelumnya, diperoleh sebuah keterangan bahwa Ahmad Musthafa al-Maraghi hidup selama 69 tahun. Masa tersebut terbentang dari 1300 H/1883 M sampai 1371 H/1952. Dalam konteks kajian atas peran seorang tokoh, kondisi sosial dalam kurun waktu tersebut merupakan hal yang sangat penting. Asumsinya, jelas bahwa seorang pemikir pasti terbentuk oleh kondisi yang melingkupinya, karena sepenggal pemikiran tidak lain dari respon terhadap realitas sosial itu sendiri. Karena itu, urgensi kondisi sosial ini dihadirkan antara lain untuk melihat pengaruhnya terhadap corak pemikirannya dalam memahami ayat-ayat suci al-Qur’an. Masa kehidupan Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1883 – 1952, merupakan bagian penting dari sejarah dinamika sosial-politik Mesir, sebuah kurun waktu di mana, Mesir mengalami perubahan dalam berbagai aspek, sosial, politik dan pergumulan intelektual. Para ahli sejarah sosial setuju bahwa tahun 1798 merupakan awal sejarah terbentuknya Mesir modern[20]. Dinamika yang terjadi dilatarbelakangi oleh dua fenomena besar. Di satu sisi, kesultanan Turki Usmani yang pada masa-masa sebelumnya mencakup banyak wilayah Islam, termasuk Mesir, sedikit demi sedikit mulai digerogoti perpecahan internal, di sisi lain, kekuatan Barat semakin bertambah dan menancapkan cengkraman ke berbagai wilayah. Kebanyakan wilayah-wilayah yang merupakan pusat Islam itu dengan cepat menjadi daerah taklukan[21]. Dalam pada itu, Mesir di satu sisi berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Usmani, namun di sisi lain juga berupaya untuk menghindarkan diri dari kekuatan dan cengkeraman barat/Inggris. Pasukan Inggris menempati Mesir pada tahun 1882 untuk membungkam pemberontakan kaum nasionalis yang dipimpin oleh kolonel Ahmad Urabi[22]. Meskipun Mesir masih di bawah kekuasaan Turki Usmani, ketaatannya hanya bersifat pragmatis. Kedatangan bangsa Eropa ini telah menyadarkan penduduk Mesir bahwa mereka tertinggal jauh oleh Eropa. Kesadaran tersebut pada akhirnya memunculkan keinginan untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam pada masa silam. Dengan melemahnya kekuatan Usmani dan menguatnya cengkraman Barat, sikap nasionalisme di kalangan bangsa Mesir. Tokoh yang berjasa dalam memunculkan Nasionalisme Mesir adalah al-Tahtawi. Sepulangnya dari Paris al-Tahtawi banyak melakukan terjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab. Baginya, sosial mengambil alih peran yang lebih dari agama, dan untuk pertama kalinya orang Arab menggunakan kata "nation" dalam sekuler pengertian[23]. Ide-ide al-Tahtawi telah memfasilitasi pertumbuhan nasionalisme Mesir dan menciptakan keharmonisan konsep sosial Eropa dan Islam[24]. Namun demikian, nasionalisme dalam pandangan mereka tidak berwujud dalam konsep yang seragam. Dilihat dari pijakan, nasionalisme yang terbentuk di Mesir kala itu dapat dipilah menjadi tiga model, yaitu: pertama, nasionalisme yang berbasis agama. Kedua, nasionalisme yang berbasis persamaan bangsa dan bahasa, dan ketiga, nasionalisme berbasis pada kesamaan tempat atau teritorial. Nasionalisme bentuk ketiga inilah yang paling banyak dianut oleh masyarakat Mesir. Akan tetapi, setelah Mesir jatuh ke tangan Inggris kelompok ketiga ini melemah dan kelompok pertama yang menguat. Saat itu Mesir meminta pertolongan Usmaniyah untuk membantunya melepaskan diri dari belenggu Inggris. Sebagai representasi dari menguatnya kelompok pertama di atas, muncul partai yang cenderung menganut nasionalisme religius, yaitu al-Hizb al-Wathanî yang dipimpin oleh Mustafa Kamil. Menurutnya, agama dan nasionalisme adalah kembar dan tidak dapat dipisahkan. Orang yang hatinya berpegang kepada agama pasti akan mencintai tanah airnya dan mengorbankan harta dan hidupnya untuk itu. Pada tahun 1919 di Mesir terjadi revolusi dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan Inggris yang berlangsung hingga tahun 1921 dan berakhir dengan diserahkannya pengelolaan Mesir kepada putra Mesir dibawah pimpinan Sa`ad Zaghlul.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam mengkaji Mesir adalah pemikiran politiknya yang sejak awal abad ke-19 selalu didominasi oleh pertentangan antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam tradisional[25].  Golongan pertama diwakili oleh intelektual yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka berpendapat bahwa sistem politik  Mesir harus mengikuti sistem yang berlaku di Barat, dengan begitu Mesir tidak akan tertinggal dalam bidang teknologi. Golongan kedua, yaitu golongan Islam tradisionalis, adalah terdiri atas para ulama yang selama ini menganggap diri mereka sebagai penasehat penguasa. Kelompok kedua ini dianggap oleh kelompok pertama sebagai penghambat modernisasi dan penyebab timbulnya keterbelakangan di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Kondisi politik yang demikian telah berpengaruh besar terhadap pesatnya perkembangan intelektual dalam berbagai disiplin. Munculnya kelompok yang cenderung pro Barat di Mesir diawali dengan pengiriman pelajar-pelajar Mesir ke Eropa seperti Prancis dan Inggris yang dilakukan oleh Muhammad Ali. Sebagai seorang penguasa yang masih dibayang-bayangi kerajaan Mamluk, keinginannya untuk senantiasa memperluas kekuasaannya kebijakan militer yang cukup bagus. Pada tahun 1816 Ali membentuk tentara yang disiplinnya diadaptasi dari Eropa. Lama-kelamaan kebijakannya dalam mengikuti pola Eropa tidak hanya terbatas pada aspek militer saja, tetapi jauh lebih luas, seperti teknologi dan pendidikan. Sehingga tidak heran jika muncul banyak tokoh besar, seperti Thaha Husein, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasim Amin, Ali Abdul Raziq, dan Ahmad Mustafa al-Maraghi. Pada abad ke-19 dan 20 ini, atau tepatnya tahun 1923-1952, Mesir mengalami sebuah zaman yang disebut dengan liberal age (zaman liberal). Disebut demikian karena pada masa itu telah tumbuh liberalisme yang berakibat pada munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik. Menurut Selma Botman, zaman liberal mengutamakan sistem politik yang memiliki konstitusi yang ber-style barat dan pemerintahan parlementer. Konstitusi Mesir mencontoh demokrasi barat yang liberal dan menarik ahli hukum dari Mesir sebagai bentuk simpatik kepada raja Inggris.
Dengan berkembangnya liberalisme di Mesir, lahirlah apa yang disebut dengan nahdah (kelahiran kembali). Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan mengadopsi prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh Eropa modern[26]. Oleh karena itu, secara garis besar di Mesir terdapat tiga kecenderungan pemikiran yang muncul pada masa itu. Pertama, kecenderungan pada Islam yang diwakili oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dan Hasan al-Banna (1906-1949). Kedua, kecenderungan mengambil sintesis, yaitu dengan berusaha memadukan antara ajaran Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili Muhammad Abduh, Qasim Amin (1865-1908), dan Ali Abdul Raziq (1888-1966). Ketiga, kecenderungan rasional dan pemikiran bebas yang diwakili oleh Lutfi al-Sayyid dan para emigran Syiria yang lari ke Mesir. Kelompok ini senantiasa mengacu kepada prestasi-prestasi ilmiah yang dicapai oleh Barat. Selain kelompok-kelompok di atas, terdapat organisasi di luar politik seperti Persatuan Umat Islam, Kelompok Muda Mesir, komunis, dan asosiasi perempuan juga memberikan kontribusi bagi pembentukan kultur politik Mesir. Dari segi ekonomi, Mesir pada saat itu adalah sebuah negara yang miskin. Keadaan ini merupakan warisan dari eksploitasi orang-orang kerajaan Mamluk, sebuah pemerintahan oligarki militer yang mempertahankan keberadaannya dengan mendatangkan anggota-anggota baru dari Kaukasus dan Asia Tengah. Sebagai akibat dari kemiskinan dan kurangnya pendidikan, masyarakat cenderung mencari pelarian, dan pelariannya tidak lain berkembangnya kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau takhayul. Akhir abad ke 19, diidentikkan dengan abad kebangkitan umat Islam setelah terpuruk dalam disintegrasi, pemerintahan yang despotis, dan kebodohan yang menyelimuti masyarakatnya. Hal ini, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir modern di dunia Islam yang dimotivasi oleh berkembangnya teknologi di dunia Barat. Rangsangan pertama yang mendapat respon positif di kalangan umat Islam adalah ide-ide tentang kebangsaan, persamaan, dan sistem pemerintahan yang dibawa oleh Napoleon. Ide ini dianggap angin segar bagi potensi perubahan di dunia Islam. Secara perlahan, ide-ide itu mengalir dan menjadi wacana di kalangan muda Islam. Penguasa di Mesir pada waktu itu (Muhammad Ali Pasha) banyak melakukan perubahan signifikan dalam melakukan pembaharuan. Dalam bidang pendidikan misalnya, dia mengirim golongan muda untuk menimba ilmu pengetahuan di Prancis, meliputi administrasi pemerintahan, teknik, strategi perang, perairan, pertanian, pertahanan keamanan, dan industri senjata. Rakyat Mesir sendiri sedikit demi sedikit terbuka matanya untuk melihat persoalan menyangkut diri dan bangsanya. Upaya Muhammad Ali dilanjutkan oleh penerusnya Khedive Ismail (1863 – 1879). Pada awalnya dia mencoba mencari dukungan para ulama untuk melakukan modernisasi di Mesir, tetapi karena tidak berkompromi dengannya ia pun memungut kebijaksanaan  penguasa terdahulu Muhammad Ali, lembaga-lembaga sekuler baru menurut contoh di Barat berjalan sejajar dengan lembaga-lembaga Islam tradisional. Perguruan-perguruan yang bersifat nasional dan sekuler dibangun berdampingan dengan sistem keagamaan tradisional. Hukum Islam dan peradilan-peradilan Islam dibatasi wewenangnya dalam masalah kekeluargaan (perkawinan, perceraian, warisan) disebabkan negara sudah memperlakukan hukum umum berdasarkan Hukum Perancis (Kode Napoleon), diselenggarakan oleh peradilan-peradilan Sipil. Keterampilan baru diperlukan dalam suatu masyarakat modern merupakan kelompok-kelompok tertentu seumpama insinyur, sarjana hukum, dokter, wartawan, dan lainnya, yakni produk perguruan-perguruan nasional yang modern dan sekuler, dan kini “merupakan tantangan terhadap pimpinan politik dan intelektual dan sosial yang dinikmati para Ulama selama ini, dan menyebabkan mereka itu lambat laun tersingkir dari arena politik”. Proses modernisasi itu disertai pula oleh kebangkitan sentimensentimen nasional yang berkembang sebagai tantangan terhadap Perancis pada pertama kalinya dan kemudian terhadap dominasi Inggris terhadap pengganti Ismail, yakni Khedive Taufik. Akibatnya ialah revolusi anti-kolonial pada tahun 1881 dipimpin oleh Arabi Pasha, yang menjabat Menteri Peperangan dalam Kabinet Mesir. Peristiwa itu memberikan alasan bagi Inggris untuk mengerahkan militer menduduki Mesir dan sepanjang de facto. Sekalipun bukan de jure telah menguasai Mesir. Sebagai bangsa yang tidak pernah dipimpin oleh penduduk aslinya, ketika ide-ide persamaan hak, harkat kebangsaan, cinta bangsa (hubb al-wathân) digulirkan, dengan cepat responnya meluas dikalangan masyarakat. Transfer teknologi dari Eropa begitu gencar dilakukan; penerbitan-penerbitan yang dapat secara cepat mensosialisasikan ide-ide di atas juga dilaksanakan, sehingga langkah-langkah menuju perubahan tidak berhenti pada tataran ide. Penerbitan buku-buku yang berisi teori politik dan pemerintahan di Barat, telah membuka mata umat Islam untuk melihat kembali konsep tesebut dalam ajaran Islam. Al-Tahtawi—seorang pembaharu di Mesir—juga mulai mengkritisi berbagai konsep yang sedang berkembang di Barat. Ia pernah menjelaskan bahwa  peraturan-peraturan dan teori-teori Barat itu tidak berdasarkan pada al-Qur'an dan Hadis. Arah pembaharuan di Mesir tidak hanya bergerak dalam bidang fisik semata, tetapi lambat laun memasuki wilayah keagamaan. Muhammad Ali Pasha yang ide-ide pembaharuannya lebih banyak menyangkut politik pemerintahan, dilanjutkan oleh al-Tahtawi yang mulai mencari justifikasi dari al-Qur'an dan Hadis. Hasil terjemahan yang dibuat oleh al-Tahtawi cukup membantu dalam mensosialisasikan ide-ide demokrasi dan kebangsaan. Tokoh lain yang tidak dapat dilewatkan dalam proses pembaharuan di Mesir adalah Jamaludin al-Afghani (1838 – 1897). Laki-laki kelahiran Afganistan ini, banyak mengeluarkan ide-ide tentang persatuan Islam dan dalam gerakannya itu, yang diiringi pula dengan aktivitasnya dalam berpolitik. Jamaludin Al Afghani merupakan penganjur pertama bagi pembaharuan Islam dan perubahan Islam dan pula merupakan Bapak bagi gerakan Nasionalisme Muslim.  Gerakan al-Afghani, secara geografis begitu luas hingga mencakup Iran, India, Dunia Arab, Turki, dan Eropa. Dan menurut Goldschmidt, kemanapun dia pergi, maka dia senantiasa memberikan ceramah. Sasaran ceramah dan kritik yang dilakukan oleh al-Afghani, tidak hanya penguasa yang cenderung mengakomodasi pendapat Barat, tetapi juga para ulama dan rakyat. Dalam salah satu ceramahnya, al-Afghani mengkritik kepasifan atau kejumudan para ulama. Berikut ini petikannya: Ulama sebagai pemelihara akidah dan hidayah tidak pernah berhubungan, bahkan tidak berkomunikasi sesama mereka. Ulama Turki tidak tahu sama sekali dengan keadaan ulama Hijaz. Ulama India tidak tahu dengan ulama Afganistan. Begitulah seterusnya, bahkan antar ulama dalam satu negeripun tidak punya ikatan satu sama lain. Mereka tidak mempunyai hubungan yang menyatukan, kecuali sebatas hubungan pribadi secara umum, yaitu hubungan persahabatan dan kekerabatan. Meskipun al-Afghani banyak mengkritik para ulama, kenyataanya seruannya untuk kembali kepada Islam dan persatuan kaum muslimin diterima oleh kalangan ulama konservatif. Rakyat pun tidak lepas dari sorotannya, sehingga dalam suatu ceramahnya dia berbicara keras mengenai nasib rakyat Mesir. Menurutnya, bangsa Mesir yang telah berabad-abad berada dalam perbudakan masih mentolelir penguasa-penguasa zalim yang secara langsung menindas mereka. Berkat aktivitasnya dalam menyampaikan ceramah, al-Afghani pernah dicap sebagai agen provokasi tingkat tinggi. Pembaharuan di dunia Mesir, kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, murid al-Afghani, yang dalam pemikirannya lebih terbuka untuk menerima ide-ide rasional. Ide pembaharuan Abduh, muncul karena kemunduran umat Islam, dan banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran ini dengan berupaya meniru Barat. Menurutnya, rendahnya kedudukan umat Islam disebabkan karena mereka telah meninggalkan Islam yang sejati.
Pembaharuan Muhammad Abduh meliputi tiga hal, yaitu: Pertama, Pembaharuan Agama (al-Ishlâh al-Dînî), kedua, Pembaharuan dalam lapangan bahasa (al-Ishlâh al-Lughawî), dan ketiga, Pembaharuan dalam bidang politik (al-Ishlâh al-Siyâsî). Pembaharuan dalam bidang agama, menurut Muhammad Abduh adalah membebaskan akal pikiran dari taklid, memahami agama lewat pemahaman kaum salaf sebelum terjadi perselisihan, dan kembali kepada sumber-sumber utama dan asli dalam mencari pengetahuan agama sambil melerakkannya dalam keseimbangan akal sebagai karunia Allah. Menurutnya, akal merupakan teman sejajar ilmu, penyingkap rahasia alam, penyeru untuk menghormati hakikat sejati, dan salah satu sarana terbaik untuk meluruskan perbuatan dan mendidik jiwa. Mengenai kondisi umat Islam, Muhammad Abduh melihat bahwa masyarakat Islam mundur karena kemiskinan jiwa dan salah dalam membimbing akal pikiran. Keduanya itu timbul karena merajalelanya sikap egois dan hilangnya kebersamaan dalam masyarakat. Khusus untuk masyarakat Mesir, kelemahan mereka menurut Abduh antara lain: munculnya bid'ah dalam agama seperti ziarah ke kuburan wali; terjadinya suap menyuap; dan tumbuhnya sikap individualisme yang disebabkan oleh putusnya hubungan jiwa satu sama lain. Penyebab kemunduran umat Islam lainnya adalah faktor Pendidikan. Oleh karena itu, ketika Abduh menjabat sebagai anggota Majlis A`la al-Azhar, dia membawa perubahan dan perbaikan ke dalam almamaternya itu. Salah satu tawarannya adalah agar Universitas al-Azhar membuka jurusan kedokteran dan farmasi. Menurutnya kesehatan masyarakat perlu didukung oleh lingkungannya. Setting sosial yang telah digambarkan di atas merupakan latar belakang semakin menguatnya penafsiran yang bercorak rasional. Seperti yang telah kita lihat bahwa sejumlah tokoh yang mengambil peran di garda depan dalam kontek pembaharuan Mesir diantaranya tercatat beberapa mufassir terkenal. Sementara, sudah merupakan hukum sosial bahwa penafsiran al-Qur’an atau pemikiran apapun yang melibatkan seorang tokoh, tidak akan terlepas dari latar belakang sosio-historis di mana dan kapan seorang pemikir itu hidup. Dalam bidang fikih, dikenal Imam Syafi'i yang memiliki dua konsep yang berbeda dalam berijtihad. Ketika dia masih hidup di Bagdad, dia memiliki ijtihad dan pemikiran tersendiri, yang biasa dikenal dengan qaul qadîm, dan ketika dia berpindah ke Mesir, ada beberapa ijtihadnya yang justru berbeda, kalau tidak dikatakan bertentangan, dengan ijtihad sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya. Selain kondisi sosial, pengaruh besar juga senantiasa lahir dari hubungan seorang guru dan murid, bahkan menentukan corak dan warna pemikirannya. Seorang guru yang tekstualis, kemungkinan besar akan melahirkan murid-murid yang tekstualis juga. Demikian juga seorang guru yang rasional, sedikitnya akan berpengaruh pada cara pandang dan pemikiran muridnya. Corak pemikiran Jamaluddin al-Afgani sangat berpengaruh sekali pada corak pemikiran muridnya Muhammad Abduh, demikian juga pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh pada pemikiran Rasyid Ridha, dan demikian seterusnya[27].

2. Corak Pemikiran al-Maraghi
Apa yang dipaparkan di atas, memberi gambaran mengenai corak pemikiran Al-Maraghi di dalam tafsirnya. Kehidupannya yang sarat dengan probelematika sosial dari berbagai aspek kehidupan dan hubungannya dengan beberapa tokoh rasionalis menunjukkan dengan jelas, bahwa pemikirannya, termasuk yang dituangkan di dalam tafsirnya juga bercorak rasional. Indikator kunci untuk memasuki bahasan ini selanjutnya adalah bahwa Tafsir al-Maraghi masuk di dalam kategori corak tafsir al-adab al-ijtima`iy (sastra budaya) sebagaimana tafsir yang dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Meski demikian, persentuhannya dengan kaum tradisionalis yang ada di masanya, tentu ia tidak sepenuhnya meninggalkan pola lama sebagaimana tafsir yang ada sebelumnya secara umum. Agar hal ini lebih jelas, maka berikut ini, penulis memaparkan secara ringkas kecenderungan pemikiran al-Maraghi di bidang teologi, hukum, dan pandangannya tentang peran akal dalam melakukan ijtihad. Al-Maraghi tidak pernah mengidentifikasi dirinya sebagai pengikut aliran pemikiran teologi tertentu, bahkan ia sangat menyesalkan dan mencela perpecahan yang terjadi di kalangan Islam yang disebabkan oleh adanya berbagai macam aliran dan sekte dalam teologi. Ia bahkan mensinyalir keberadaan sekte-sekte inilah yang memporak-porandakan persatuan dan kesatuan umat Islam serta menodai catatan sejarah Islam. Kendati demikian, nampaknya ia banyak terpengaruh dengan kondisi sosialnya sehingga corak pemikirannya lebih rasional dan lebih dekat pada aliran mu’tazilah. Hal ini antara lain tercermin di dalam konsepsi mengenai iman menurut pemahaman al-Maraghi. Iman baginya adalah bukan sekedar konsep belaka tetapi ia harus teraktualisasi di dalam kehidupan sehari-hari.


D. Profil Tafsir al-Maraghi
1. Penulisan Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi adalah karya Ahmad Musthafa al-Maraghi. Penamaan ini dinisbahkan pada nama tempat kelahirannya, al-Maragha, sebagaimana nisbah yang disebutkan di belakang namanya. Hal ini penting untuk disebutkan karena kadang ada anggapan bahwa tafsir al-Maraghi adalah karya mantan Syaekh al-Azhar, Muhammad Musthafa al-Maraghi, kakak kandung Ahmad Musthafa al-Maraghi sendiri. Memang, Muhammad Musthafa al-Maraghi juga melahirkan karya tafsir, hanya saja terbatas pada beberapa surah al-Qur’an. Kemungkinan terjadinya kekeliruan semakin besar sebab nisbah al-Maraghi bukan hanya digunakan oleh keluarga Musthafa al-Maraghi, tetapi juga orang lain yang berasal dari tempat yang sama, al-Maragha. Tafsir Al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa Al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun (1940-1950M). Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen melainkan kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu. Menurut sebuah sumber bahwa ketika Al-Maraghi menulis tafsirnya ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam dalam sehari sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir, Al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah. Lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat-demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas Al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta-tinta emas sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase Perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.
Tafsir Al-Maraghi untuk pertama kalinya diterbitkan di Kairo pada tahun 1951 M. Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir al-Marghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz Al-Qur'an. Lalu pada penerbitan yang kedua, terdiri dari 10 jilid dimana setiap jilid berisi 3 juz dan selanjutnya juga pernah diterbitkan ke dalam 15 jilid dimana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah Tafsir Al-Maraghi yang diterbitkan ke dalam 10 jilid. Penulisan tafsir al-Maraghi dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan tafsir untuk memahami kandungan al-Qur’an di satu sisi dan realitas obyektif tafsir-tafsir yang sudah ada[28]. Berdasarkan pengamatannya bahwa penjelasan-penjelasan yang dimuat di dalam banyak tafsir bercampur dengan hal-hal yang tidak penting, seperti cerita-cerita yang tidak masuk akal, istilah-istilah teknis dari disiplin ilmu tertentu seperti balaghah, bahkan pada persoalan khilafiyah dan pertikaian antar mazhab yang justru menjauhkan al-Qur’an dari fungsinya sebagai petunjuk. Bagi al-Maraghi, realitas obyektif tafsir yang demikian tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan penjelasan-penjelasan al-Qur’an. Realitas tersebut menggugah rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir. Muncul sebuah kesadaran di dalam dirinya bahwa problema tersebut membutuhkan pemecahan sekaligus merasa terpanggil untuk menawarkan solusi-solusi yang berdasarkan dalil-dalil qur’ani yang dapat dijadikan alternatif. Maka dari itu tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gayanya yang modern. Dikatakan modern karena ia disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern. Hal ini terlihat pada penuturan Al-Maraghi sendiri yang dituangkan dalam pembukaan tafsirnya. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa penulisan tafsir yang ia lakukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, disusun secara sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan masalah-masalahyang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah, bukti-bukti nyata serta berbagai percobaan yang diperlukan. Dari sini pula, al-Maraghi berupaya menyajikan pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu yang relevan. Selain ungkapan al-maraghi sendiri, karakteristik Tafsir al-Maraghi juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh antara lain:

2. Metodologi Tafsir al-Maraghi
Tafsir adalah sebuah cara yang dilakukan manusia untuk memahami pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, keberadaan disiplin-disiplin ilmu yang dapat menunjang penafsiran yang baik sangat diperlukan. Sebagai contoh, penguasaan ilmu nahwu bagi seorang mufassir  tidak dapat diabaikan karena kesalahan pemahaman terhadap struktur bahasa Arab dapat menimbulkan pemahaman yang menyimpang terhadap al-Qur’an itu sendiri. Hal lain yang tidak dapat dihindari dalam upaya menafsirkanal-Qur’anadalah metode yang digunakan oleh mufassir. Yang dimaksud denganmetode penafsiran al-Qur’an adalah cara penafsiran al-Qur’an baik berdasarkan sumber-sumber penafsirannya maupun
penjelasan tentang sasaran dan tertib ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu perlu adanya cara yang tepat untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu suatu cara yang harus dijadikan sebagai pegangan oleh para ahli tafsir di setiap generasi.51 Sampai saat ini, setidaknya ada empat metode penafsiran al-Qur’an yang dikenal oleh masyarakat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî, metode muqârin, dan metode maudhû`i. Tafsir tahlîlî adalah metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Aspek-aspek yang dikaji dalam metode ini meliputi kosakata, korelasi ayat, dan asbâb al-nuzûl-nya. Kelemahan yang dimiliki oleh metode tafsir ini adalah, pada satu saat mufassir bisa sangat bertele-tele dalam menafsirkan suatu ayat, dan pada sisi lain bisa sangat singkat yang hampir menyerupai terjemahan. Tafsir ijmâlî adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di sini mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf.54 Kelemahan metode ini adalah gaya bahasa dan lafaz yang digunakan oleh mufassir mirip bahkan sama dengan lafaz-lafaz al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebuttidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Meskipun begitu, metode ini lebih mengajak pembaca untuk berbicara langsung dengan al-Qur’an. Di sini seolah-olah al-Qur’an sendiri yang berbicara, sehingga makna-makna yang timbul lebih mudah diserap. Metode muqârin adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh para mufassir. Di sini mufassir menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai suatu ayat melalui kitab-kitab tafsir mereka.56 Metode tafsir maudhû`i adalah metode penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang telah ditentukan. Setelah itu dibahas dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan.57 Setelah melihat pada metode-metode penafsiran yang ada, metode apakah yang digunakan al-Maraghi dalam tafsirnya? Jika dilihat dari sumbernya, tafsir al-Maraghi lebih mengarah pada tafsir bi al-ra’y, karena dalam penafsirannya selalu diiringi dengan interpretasi akal atau ijtihad. Akan tetapi, bukan berarti al-Maraghi tidak menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr. Keberadaan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis lebih sebagai penguat dari ijtihadnya. Dilihat dari metode penafsirannya, al-Maraghi lebih menggunakan metode tahlîlî. Ini terlihat dari cara penafsirannya yang sesuai dengan urutan ayat yang telah tersusun dalam mushaf. Pertama-tama al-Maraghi menuliskan kosa kata dari lafal-lafal ayat yang dirasa sulit untuk dipahami. Setelah itu al-Maraghi menjelaskan makna ayat secara global, diikuti dengan asbâb al-nuzul dari ayat tersebut, dan terakhir pemikirannya mengenai ayat tersebut yang dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Hal yang terakhir ini memberi isyarat bahwa Tafsir al-Maraghi bercorak sastra budaya (al-adab al-ijtima’iy). Sebuah corak tafsir yang dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh, yakni tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ketelitian ungkapanungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, menekankan tujuan pokok turunnya al-Qur'an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat.

3. Corak Tafsîr al-Maraghi
Dalam setiap pembahasan tafsirnya, al-Maraghi senantiasa mendahulukan pembahasan tentang ulumul Qur’an. Hal ini dilakukan sebagai modal awal untuk memahami tafsir setiap ayat dalam al-Qur’an. Yang dilakukannya setelah itu adalah penjelasan mengenai sistemtafsirnya, yaitu:
a.       Menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di awal pembahasan Pada setiap awal pembahasan, ia memulai dengan satu atau lebih ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut disusun sehingga memberikan pengertian yang integral.40
b.      Menjelaskan kosa kata (Syarh al-mufradât) Yang dimaksud dengan penjelasan kata-kata adalah penjelasan kata dari segi bahasa. Hal ini dilakukan jika terdapat kata-kata yang tidak atau kurang dipahami oleh para pembaca.41 Dalam hal ini, al-Maraghi tampaknya berpatokan pada ungkapan Imam Malik yang diriwayatkan oleh Imam Baihaki yang berbunyi
 “Seseorang yang tidak mengerti tentang bahasa Arab, jika diperbolehkan untuk menafsirkan al-Qur’an maka ia menjadi contoh yang jelek saja.  Hal senada dilontarkan oleh Manna` al-Qaththan, Hasbi Ash-Shiddiqie dan al-Suyuti. Mereka menyatakan betapa pentingnya pengetahuan bahasa untuk menjelaskan kata-kata bagi mereka yang menafsirkan kitab Allah. c. Menjelaskan pengertian ayat secara global Yang dimaksud dengan pengertian ayat secara global adalah dengan menyebutkan ayat-ayat, dengan harapan agar para pembaca sebelum memasuki pembahasan sudah mengetahui makna ayat-ayat terlebih dahulu.43 d. Menjelaskan Asbâb al-Nuzûl Jika terdapat riwayat sahih dari hadis yang selama ini menjadi pegangan para mufassir maka al-Maraghi mencantumkan asbâb alnuzûlnya. Asbâb al-Nuzûl memiliki peran penting dalam penafsiran al-Qur’an. Sebagaimana yang ditulis Hasbi Ash-Shiddiqie, al-Wahidi pernah mengungkapkan bahwa “tidak mungkin kita dapat mengetahui
tafsir ayat tanpa mengetahui terlebih dahulu kisah dan sebab turunnya[29].
Agaknya ungkapan al-Wahidi tersebut diperhatikan betul oleh al-Maraghi, sehingga keberadaan asbâb al-nuzûl dari suatu ayat tidak diabaikan begitu saja.
e. Mengesampingkan istilah-istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dalam tafsirnya, al-Maraghi sengaja mengesampingkan istilahistilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, seperti nahwu, sharaf, dan balaghah. Menurutnya, apabila di dalam kitab tafsir terdapat istilah-istilah sejenis maka pembaca akan terhambat dalam memahami kitab tafsir, sehingga tujuan utama dalam mendalami pengetahuan tafsir akan mengalami hambatan.45 Tampaknya, al-Maraghi di sini sangat berhati hati agar tidak terjebak ke dalam kajian bahasa dan ilmu pengetahuan. Namun, sebagaimana dinyatakannya sendiri, al-Maraghi justru sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern dengan mencoba mencari landasannya dalam al-Qur’an. Baginya, semua itu berfungsi sebagai pendukung untuk memahami al-Qur’an. Ia mengatakan: Jadi, pembahasan tafsir yang kami sajikan ini juga dibarengi dengan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat mendukungpemahaman isi Al-Qur’an. Kami sadar, bahwa upaya ini merupakan kewajiban bagi para ahli agama. Tetapi, wajib pula bagi mereka untuk menanyakan masalah-masalah kepada para ahli sains untuk sekedar memberikan penjelasan, disamping agar lebih bersesuaian dengan situasi masa. Sebab, jika mereka hanya bertumpu dari pendapat orang-orang terdahulu, berarti mereka ini telah jauh bahkan menjauhi kenyataan, sehingga tidak mendapatkan penghargaan apapun.46 Bahkan, untuk dapat memahami langsung kaitan antara perkembangan sains dan ayat-ayat al-Qur’an, al-Maraghi banyak berkonsultasi dengan orang di bidangnya, seperti tulisannya: Kami merintis jalan untuk sampai kepada tingkat pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, sekaligus menunjukkan kaitan dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan lain, yakni mengadakan konsultasi dengan orang-orang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk itu, sengaja kami berkonsultasi dengan para dokter medis, astronom, sejarawan dan orang-orang bijak untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka sesuai bidangnya masing-masing. f. Gaya Bahasa Mufassir. Dalam upaya memahami suatu ayat, al-Maraghi lebih dahulu menelaah tulisan dalam kitab-kitab tafsir klasik, kemudian mengolahnya kembali sesuai dengan kondisi yang ada pada masa kontemporer. Menurutnya kitab tafsir dengan warna sendiri yang dibangun dari pendapat para mufassir terdahulu merupakanpenghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi cukup rasional bahkan cenderung realistis dalam melihat kecenderungan manusia. Dia menyatakan bahwa masyarakat selalu berubah, baik dari segi prilaku, pola pikir bahkan gaya bahasanya. Oleh karena itu menurutnya, mufassir tetap harus mempelajari keadaan masa lalu. Ini dilakukan menurutnya sebagai bentuk penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para mufassir masa lalu. Berikut tulisan selengkapnya: Kami sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang tentu sangat mudah dimengerti oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karya itu menggunakan gaya bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka, karena mampu menulis dengan cara itu. Mengingat pergantian masa selalu diwarnai dengan ciri-ciri khusus, baik di bidang paramasastra, tingkah laku dan kerangka berpikir masyarakat, sudah barang tentu wajar bahkan wajib bagi mufassir masa sekarang untuk melihat keadaan masa lalu. Dengan demikian, seorang al-Maraghi merasa berkewajiban memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsir yang mempunyai warna tersendiri dan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh alam pikiran saat ini. Pepatah telah mengatakan, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
g. Seleksi terhadap kisah-kisah dalam kitab tafsir Dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, tidak semua cerita dapat diterima keabsahannya karena di antara cerita tersebut banyak yang berasal dari israiliyât. Oleh karena itu al-Maraghi menyeleksinya dalam kitab tafsirnya ini. h. Pesatnya Sarana Komunikasi diMasa Modern Sesuai dengan perkembangan sarana komunikasi, maka bahasa tafsir sebagai bahasa komunikasi perlu memiliki sifat sederhana yang mudah dimengerti maksud tujuannya. Inilah yang dilakukan oleh al-Maraghi dalam menuliskan kitab tafsirnya ini.
i. Jumlah Juz Tafsir Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 jilid, setiap jilid satu juz Al-Quran, dengan maksud mempermudah para pembaca.

4. Sumber Tafsir al-Maraghi
          Setiap mufasir menafsirkan kalam Allah dalam prakteknya tidak terlepas dari dua sumber. Yaitu ra’yi dan riwayat atau keduanya. seiring dengan perkembangan zaman, cara mufasir menafsirkan pun berkembang, namun sumber penafsiran tidak berubah, hanaya saja pada tafsir-tafsir kontenporer sumber logika yang mendominasi.
            Salah satu tafsir kontenporer adalah tafsir al-Maraghi, maka sudah dapat dipastikan al-Maraghi dalam menangkap maksud al-Qur’a@n didominasi logika. Namun bukan berarti al-Maraghi meninggalkan riwayat, melinkan penyeleksian riwayat yang ketat. Riwayat yang dipakai dalam rujukan menafsirkan al-Qur’a@n adalah riwayat yang dianggap s}ahih.
            Al-Maraghi tidak memasukan penafsiran israiliat sebagai sumber. Sekalipun ulama sebelumnya (mufa@sir) dalam hal israiliat terbagi pada tiga golongan. Segolongan ulama memasukan penafsiran israiliat dan menyebutkan sanad-sanadnya. Golongan kedua memasukan penafsiran israiliyat dan tidak menyebutkan sanadnya. Ada pun golongan ketiga yaitu Muhammad Abdu dan Rashid Ridha memasukan penafsiran israiliyat namun mengomentarinya. Lainhanya dengan Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, membuangnya penafsiran irailiyat, menurutnya itu hanya menjauhkan dari tujuan al-Qur’a@n sebagai kitab hudan[30].
         
5. Rujukan Tafsîr al-Maraghi
Dalam menyusun kitab tafsirnya, al-Maraghi menggunakan beberapa kirab tafsir lain sebagai rujukan atau sebagai bahan perbandingannya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
1) Tafsîr al-Thabarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr at-Tabarî (wafat 310 H).
2) Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl, Abul-Qasim Jarul-lah Al-Zamakhsyarî (wafat 538 H).
3) Hasyiah Syarifuddin Al-Hasan Ibnu Muhammad Al-Tiby (wafat 713 H).
4). Anwar al-tanzil lil qadhi^ Na^s}ir al-din Abdullah bin ‘Umar al-Baidha^wi^ (wafat 692 H)
5) Lubab al-Ta'wi1 Fi Ma'ani al-Tanzi1 atau Tafsir al-Khazin, Alauddin Abul Hasan Ali bin  
Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil asy-Syihy al-Khâzin terkenal dengan  
Ala al-in al-Khâzin (w. 741 H).
6) Tafsîr Ibnu Katsîr, Imad al-Din Isma'îl bin Umar bin Katsîr atau Ibnu Kasîr (w. 774 H).
7) Tafsir Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Ma’ruf bi al-Raghib al-As}faha^niy^  
(wafat 105 H)
8) al-Basit} li al-Ima^m Abi al-Hasan al-Wahidi al-Nais^aburiy^ (wafat 468 H)
9) Tafsir Kabi^r (mafatih al-Ghaib) al-Imam Fakhru al-Din al-Raziy^ (wafat 610 H)
10) Tafsir al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy (wafat 516 H)  
11) Gharib al-Qur’a@n li Nidham al-Din al-Hasan bin Muhammad al-Qaiy
12) al-Bahru al-Muhit}li Atsir al-Din Abi Hiyan Muhammad bin yusuf al-Andalusiy^ (wafat
            740 H)
13) Nadham Durur fi Tanasibi al-Ai wa Sur li Burhan al-Din Ibra^hi^m bin ‘Umar al-Baqa^’iy (  
885 H)
14) Tafsir Abi Muslim al-Asfaha^ni (459 H)
15) Tafsir al-Qa^dhi Abi Bakrin al-Baqilani
 16) Tafsir Kha^tib al-Sharbiniy^ (Siraj al-Munir)
17) Rûh al-Ma'âni Fî Tafsîr Al-Qur'an al-'Azîm wa al-Sab' al-Matsânî atau Tafsîr al-Alûsî,
Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Alûsî al-Bagdâdî (w.1270 H/1854 M).
18) Tafsir Munir Rashid Ridha
19) Sirah Ibnu Hisha^m
20) Sharah Alamah Ibnu Hajar al-Bukha^riy
21) Lisan al-‘Arabi Ibnu Mand}ur al-Ifriqiy (wafat 711 H)
22) Sharah al-Qamus lilfairuzabadi (wafat 716 H)
23) al-Hadits al-Mukhtarah lidhiya^i al-Muqadasiy
24) T}abaqah al-Shafi’iy li Ibni Subqiy
25) Jawazir li Ibni Hajar
26)‘Alamu Muqi^’in li Ibni Taimiyah
27) Al-Itqan fi Ulum al-Qur’a@n as-Suyut}i
28) Muqadimah Ibnu Khaldun   
29) Mahâsîn al-Ta'wîl atau tafsîr al-Qasimî, Syekh Muhammad Jamâl al-Dîn bin
Muhammad bin Sa'îd bin Qasim al-Qasimî (w. 1332 H/1914 M).
30) Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M).
31) Tafsîr Jalâlain, Al-Allamâh al-Muhaqqiq Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dan Al-Allamâh al-
Muhaqqiq Jalâl al-Dîn Muhammad ibnu Ahmad al-Mahallî.[31]

6. S}alat Dalam Penafsiran al-Maraghi
          Al-Maraghi dalam menafsirkan s}alat pada surat al-Baqarah ayat 3 berbeda dengan mufasir lain. Pada umunya mufasir hanya membahas s}alat dari sisi bahasa dan shar’iy. Lain halnya dengan penafsiran al-Maraghi selain menafsirkan dari sisi bahasa dan shar’iy. Al-Maraghi membahas definisi s}alat dari sisi bahasa secara rinci. Do’a dalam perspektif al-Maraghi maknanya lebih luas. Bisa dengan kata-kata, juga bisa dengan perbuatan atau bisa dengan keduanya[32]. Hal ini tentu berbeda dengan mufasir sebelumnya[33]. Do’a dapat dilakukan dengan kata-kata dan perbuatan atau keduanya merupakan penafsiran al-Maraghi terhadap lafadz s}alat, yang tertuang pada surat al-Baqarah ayat 3. Sungguhpun dalam penafsiran s}alat dari sisi bahasa, namun hal ini merupakan hal baru dibandingkan dengan penafsiran-penafsiran sebelumnya, dan ini juga merupakan hal yang menonjol pada penafsiran al-Maraghi, yang sebelumnya belum ada.
            Di bawah ini merupakan penafsiran al-Maraghi dalam tafsirnya. Yaitu surat al-Baqarah ayat 3.
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Pada bagian ini penulis tidak akan mengangkat semua penafsiran al-Maraghi yang tertuang dalam tafsirnya, terutama pada surat al-Baqarah ayat ke 3, karena hal itu memerlukan pembahasan yang sangat panjang. Untuk mempersingkat sekiranya penulis mengangkat satu kata, tetapi sungguhpun demikian dapat memberikan gambaran kepada para pembaca tentang tafsir al-Maraghi.
            Kata yang akan penulis angkat sebagai gambaran penafsiran al-Maraghi yaitu, o4qn=¢Á9$#  hampir semua mufasir menafsirkan lafadz ini dengan pada dua sisi. Sisi bahasa dan sisi is}tilah. Pada tafsir klasik seperti futuh al-Ilahiyah, S}awi dan Khazin membahas s}alat baik sisi bahasa maupun is}tilah sama yaitu do’a. Dari sisi is}tilah semunya tidak ada beda yaitu pendektannya fiqih. Berbeda sekali tentunya dengan al-Maraghi, al-Maraghi membahas s}alat dari kedua sisinya sangat rinci dan realistis.
            Di bawah ini kutipan tafsir al-Maraghi. Sengaja penulis angkat  agar mendapat gambaran tentang cara penafsiran al-Maraghi, hal ini tentu mempermudah bagi para pembaca. Di sisi lain untuk memenyhi permohonan temen-temen yang sangat mengharapakan ditampilkannya sekelumut tentang tata cara al-Maraghi menafsirkan al-Qur,a@n.
 


DAFTAR PUSTAKA



Abdu al, al-Sal>am Ah{mad Nah{ra>wy. Al-Ima>m as-Shafi’y fi Madhhabaiyh al-qad>im al-jad>id. (Disertasi: 1994)    
A.    Steenbrink, Karel. Berapa aspek tentang Islam di Indonesia Aad ke 19. (Jakarta: Bulan Bintang. 1984).h.5
Ans{ary, Al, Abdul Wahab bin Ahmad bim Ali. Mizan al-Kubra. (Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia).
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir ( Bandung: Pustaka Setia) Ct.lll 2005
Bagda>, al, Ala> al-Di~n Ali bin Muhammad. Tafsi~r Kha>zin.(Dar al-Fikr)
Baidan, Nas{ruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’n,(Pustaka Pelajar Offset 1998).
Bantani, Al, ShaikhNawawi, Tafsir Marh Labǐd, (Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani, Al, ShaikhNawawi, Nihayah al-Tuzain, Nihayah, (Indonesia: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bukhari, Imam, al. Matan Bukhari. (Indonesia: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
Chaer, abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (Jakara: Rineka Cipta 2000)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : 1999). Cet.Ke-10
Fakultas Us{uluddin & Filsafat, Pedoman Akademik, 2004/2005
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1970).
Harun, Salman. Mutiara al-Qur’a#n, (Logos; Wacana Ilmu Dan Pemikiran 2004)
Husain, Al, Imam Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad, Khifayatul Akhyar, (Nur Asia)
‘Ima>du al-Din, al-Imam al-Ja>lil. Tafsir Ibni Kathir. (Sirkah Nurasia)
Internet, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, UIN Pasca Sarjana 2011
Ja>li~, al, Sulaiman bin Umar. Al-Futuh{ al-Ilahiyah. (Dar al-Fikr)
Kahmad, Dadang. Sosiolog Agama (Bandung: Rosda sep 2000)
Kalil, Shauqi Abu, Atlas al-Quran. (Jakarta: Al-Mahira 2006)
Lubis, Ibrahim. Agama Islam Suatu Pengantar, (Jakarta; Galia Indonesi 1982)
Maraghi,al,. Tafsi{r Maraghi. (Dar al-Fikr)
Mahsun. Metode Penelitian Bahasa. (Jakarta: Raja Grafika Persada 2005)
Muhammad, Husain, K.H. Fiqih Perempuan: Refleksi Kyai atas wacana Agama dan Jender, (Yogyakarta: LKS,2000).
Mauidhah, konsep Safaat dalam al-Quran, Tesis, UIN Jakarta 2003
Maulana, Ahmad Gina, Kajian Jender Dalam Tafsir Munir, Skripsi, UIN Jakarta, No.261.
Malik, al-Imam. Al-Muath. (Dr al-Fikr), Kitab Talak. Hadits ke 1248.h.359
Nasution, Harun, Filsafat & Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang) tahun 1978.
Nisai~, al, Abi Abdi ar-Rahman Ahmad bin Shaib bin Ali. Tafsi~r Nasai{. (Dar al-Fikr)
Q. S{aleh, KH. Asbab an-Nuzul (terjemah), (Bandung: Diponogoro) Tahun 2000.
Qurt{ubi, al. al-Ja>mi Liah{kami al-Qur’a>n. (Dar al-Fikr)
Rahman, Ar,Abdul, Kitab Fiqih Ala al-Madzhab al-Arba’ah. Dar al-Fikr).
Rauf, Mu'min, Tesis  PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Dar al-kutub al-Islamiyyah).
S{awi, Tafsir S{awi. (Dar al-Fikr)
Shaibany, Al, Omar Muhammad Al-Toumy. Falsafat Pendidkan Islam (Jakarta: Bulan Bintang) Cet. 1979
Shauka>ni, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath{u al-Qadi~r. (Dar al-Fikr)
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Az-Zawaj al-Islam Mubakiran (Terjemah; Mas{uri Ikwani), (Jakrta: Pustaka Amani 1996)
S{aleh, A.A, Dahlan, As-Bab an-Nuzul. (Bandung CV Diponogoro 2000) Edisi2.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) cet 3 peb 2003
S{idieqy, As{, Tengku Muhammad Has{bi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’n dan Tafsir.(semarang: Pustaka Rizqi Putra Sep 2000).cet.3 edisi 3
S{ihab, Qurais{. Tafsir al-Mis{bah. (Ciputat: 2000 Lentera Hati).
S{ihab, Qurais. Mukzzat Al-Qur’a#n. (Bandung: Mizan Des 2003) 
S{aw, as{. Tafsir S{awi, (Jiddah Indonesia)
Syafi’iy, Imam. al-Um, (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Imiyah).
Sha’ra>niy, Al-Imam Abdul Wahab. Al-Anwa>r al-Qudsiyah. (Dar al-Fikr) 
Sûyûthi, as, Rahman, Abdir, bin, Jalaluddin, Naisaburi, an, Ras{iri, Ahmad, Bin Husain Ali bin. as-Bab an-Nuzul. Daru. Ibnu Hasim.
Tasmara. Toto. Dimens Doa dan Dikir (Yogja Karta: Dana Bhakti Prima Yasa 1999) cet pertama
Tihani, MA. Pemikiran Fiqih al-Shaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Disertasi Program Pasca Sarjana, (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah 1998).
Usmani-al, Shaikh Muhammad bin S{alih. Us{ul fi al-Tafsir (Jakarta: Darus Sunnah Press) 2004
Zarqani, al, Muhammad Abdul Az{im. Manahil al-Irfa>n. (Daral-Fikr)
Pedomana Akademik, Pasca Sarjana, UIN Jakarta 2009-2011




[1] Prof. Yusuf Hamdani Anwar,  (ketika menyaimpaikan mata kuliah yang pertama).
[2] Lihat. DR Nas}ruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a@n  (Yogyakarta: Glagah 1998), h.1. Bandingkan dengan Prof. Qurais} S}ihab, Sejarah & Ulum al-Qur’a@n (Jakarta: Pustaka Firdaus cet pertama 1999, cet ketiga 2001), h.172
[3] Lihat Nas}ruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a@n (Yogyakarta: Glagah 1998) h.13, bandingkan dengan s}awi, dan futuh al-Ilah}iya^h, dar al-Fikr.
[4]Lihat Has}bi as}idiqiy, Sejarah & Peengantar Ilmu al-Qur’a@n dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra) 2000, h.198-199  
[5] Lihat, Hasbi as-S}idiqiy Sejarah & Peengantar Ilmu al-Qur’a@n dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra) 2000, h.198-199  
[6] Lihat Nafriandi, Makalah pada mata kuliah Tafsir Kontenporer di timur tengah, (Tafsir al-Manar)h.6
[7] Lihat surat al-Baqarah ayat, 185
[8] Lihat Qurais} Tafsir al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati 200) surat al-Baqarah ayat 2.h.84
[9] Lihat Imam Shafi’iy, al-Um,  (Libanon: Dar al-Kutub) jilid 1
[10] Lihat Mus}t}afa Muhammad ‘Ima#rah, Jawa^hir al-Bukha^ri#, Dar al-Kutub, h.11
11 Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun; Hayatuhum wa mannhajuhum,(Taheran: Mu’assasah at-Thaba’ah wa an-Nasyr, tt), h. 358.
[12] Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, h. 16.
[13] Lihat Mu'min Rauf, PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.

[14] H.A Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur, sebuah Studi Perbandingan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), 1985, h. 101.
[15] Hasan Zaini, op.cit. h. 15.
[16] Muhammad Mustafa al-Maraghi tidak menulis tafsir al-Qur’an secara lengkap sebagaimana adiknya namun dia juga menamakan tafsirnya itu dengan Tafsir al-
Maraghi.Tafsir ini hanya terdiri atas tiga jilid yang masing-masing berjumlah 200 halaman.

[17] Lihat Mu'min Rauf, PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.  
[18] Ibid. h. 17.
[19] Lihat Mu'min Rauf, PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.

[20] Bassam Tibi, Arab Nationalism A Critical Enquiry, (London: MacMilan, 1990), h. 80.
[21] Marshal S.G. Hodgson, The Venture of Islam, 1974, jilid 3 h. 152
[22] 9 Henry Munson JR. Islam and Revolution in the Middle East, (London: Yale University Press, 1988), h. 75. Lihat pula MW. Dali, (Ed.) The Cambridge History of Egypt, (London: Cambridge University Press, 1998), h. 239
[23] al-Tahtawi misalnya menerjemahkan patrie dengan kata wathan, d'amour de la patrie:hubb al-wathan
[24] Arthur Goldschmidt Jr., Historical Dictionary of Egypt, (London, The Scarecrow Press,1994), h. 277  
[25]Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekularisasi, Kajian terhadap Pemikiran Thaha Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 21-22..
13Ibid, h. 23.  
Ibid, h. 25, yang dikutip dari Fadwa el-Gundi, “The Emerging Islamic Order: The Case
of Egypt,s Contemporary Islamic Movement” dalam Harun Nasution, et al., Perkembangan
Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 248
[26]17Ibid. h. 27.
 
[27] Lihat Tesis, Lihat Mu'min Rauf, PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.

[28] Lihat Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, Juz,1, h.
[29] Lihat Mu'min Rauf, PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
[30] Lihat Shaikh Muhammad bin S}alih al-Utsmani, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta Daru as-sunah Press) 2004,h.118. bandingkan dengan Tsis Baidhawi, dan Tesis R Mu’min UIN Pasca Jakarta
[31] Lihat Mus}t}afa al-Maraghi Tafsir al-Maraghi (Dar al-Fikr) juz 1 h 15-16 lihat juga Tesis Baidhawi, Tesis Ra’ruf  Mu’min dan Baidhawi UIN Pasca Sarjana Jakarta
[32] Lihat Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr Juz 1. H. 27
[33] Lihat al-Imam as-Saukany, Tafsir Fathu al-Qadir, Dar Fikr Juz 1, h. 56. Bandingkan Sulaiman bin ‘Umar al-Ajili^ as-Shafi’iy, Tafsir Futuh al-Ilahiyah, Dar al-Fikr, Juz 1, h.23. bandingkan juga dengan ‘Ala^ al-din ‘Ali bin Muhammad al-Baghda^di^, Tafsir Kha^zin, Dar al-Fikr, juz1,30.