Senin, 21 Juni 2010

Dajal Intelektual

Masyarakat terbagi kedalam tiga golongan; ada masyarakat spritualis, masyarakat rasionalis, dan masyarakat matrealis. Masyarakat spritualis lebih mengedepankan pendidikan daripada yang lainnya. Rasionalis segala diukur dengan rasio. Matrealis tolak ukunya materi.
Penyakit yang meraksuki masyarakat pada umumnya adalah matrealis. Virus ini menyebar ke-seluruh lapisan dan tingkatan masyarakat. Dari jiwa matrealis terwujud masyarakat yang matrealis. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, sebentar lagi kehancuran di depan kita, bangsa Indonesia.
Anak negeri sejak lahir sudah dibentuk jiwanya untuk jadi Pegawai Negeri (PN). Sehingga jika sekolah yang begitu tinggi tidak dapat meraih PN, dianggap tidak ada artinya. Disadari atau tidak virus ini sudah menyebar di sekitar kita. Yang ada di benaknya sekolah sama dengan ijazah, ijazah sama dengan lapangan kerja, dan lapangan kerja sama dengan kemakmuran.
Bayak ditemukan, slogan-slogan, “buat apa kuliah kalau tidak jadi Pegawai Negeri”. Ini adalah sifat dajal, kenapa? Karena dajal digambarkan bermata satu, dan orang yang melihat jalan rizqi hanya dengan PN saja adalah dajal, dia bermata satu. Dari sisi akidah sikap seperti ini termasuk syirik khafi (samar).
Jika melanjutkan pendidikan yang lebih tinggipun orientasinya hanya materi belaka. Berbagai manipulasi dikerjakanya, tidak perduli dengan kualitas dirinya. Meyedihkan memang para pejuang terdahulu telah menghantarkan kita kegerbang pintu kemerdekaan dengan susah payah. Namun kita sebagai penerus malah banyak curang.
Relevansi dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Para guru sudah mulai menjadi dajal, dengan kedok intelektual. Banyak guru-guru mencari selembar keretas untuk dijadikan bukti, sebagai poin sertifikasi, demi materi yang bergelimang. Pemerintah juga kesulitan untuk mengetahui mana guru berkualitas dan tidak. Di sisi lain pemerintah salah sistem; guru kimia bukan ahli kmia, guru fisika bukan ahli fisika, dan guru agama bukan ahli agama. Bahkan memilukan banyak guru agama yang tidak bisa baca tulis al-Quran. Mau dibawa kemana muridnya.
Realita di lapangan sarjana pendidikan kaya akan metode tetapi sepi ilmu. Sementara sarjana non pendidikan kaya materi tetapi sepi metode. Jika pemerintah mau, harusnya sajana penuh tetapi berikan buku panduan mendidik. Itu tentu lebih mengena.
Yang menyedihkan lagi bayak para guru yang gaptek. Saya tidak habis fakir, bagaimana dia membuat skripsi. Bangkitlah wahai Indonesia. Coba kaji lebih jauh tentang yang menyangkut pendidikan. Dengan harapan tidak menjadi dajal intelektual.
Pemerintah, sekarang berusaha mensejahtrakan para pendidik, tetapi pemerintah juga harus selektif terhadap para pendidik, jangan hanya bukti di atas kertas. Mungkin lebih ketat dibandingkan dengan memilih karyawan atau pegawai. Karena para pendidiklah yang akan memberi warna terhadap negeri ini.

“Seorang pendidik harus spritualis,dan pemerintah harus tahu kebutuhan pendidik”

“Baru ok”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar