TAFSIR AL-MARAGHI
(MATAKULIAH TASFSIR KONTENPORER DI TIMUR
TENGAH)
Oleh : Apipudin
NIM: 10.2.00.1.05.08.0061
DOSEN: TEAM TEACHING
PROF. YUNAN
PROF. HAMDANI ANWAR
PROF. SALMAN
Graduat School
Syarif Hidayatullah State Islamic Unversity
Jakarta-Indonesia
TAFSIR AL-MARAGHI
(KARYA MUS}T}AFA AL-MARAGHI)
A. Pendahuluan
Tafsir al-Maraghi
meupakan tafsir kontenporer di Timur Tengah, atau tafsir mutaakhir.
Dikatakan demikian karena tafsir ini lahir pada abad ke 20an[1]. Al-Maraghi adalah salah
satu murid dari Muhammad Abduh penulis tafsir al-Mannar yang bercorak
rasionalis. Sehingga tidak diragunakan lagi Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi dalam
menfasirkan ayat-ayat Allah swt, yakni al-Qur’a@n didominasi logika. Hal ini
sangat cocok pada kondisi masyarakat Mesir ketika itu. Mungkin tafsir ini
merupakan jawaban al-Maraghi pada masalah yang sedang berlangsung. Sebab sudah
dapat dipastikan bermunculannya karya tafsir, dari masa-ke masa merupakan
refleksi dari jawaban mufa^sir terhadap persoalan yang ada. Ini juga salah satu
bukti bahwa al-Qur’a@n dapat dijadikan sumber jawaban pada persoalan yang
sedang berlangsung pada masanya.
Cara mufa@sir menggali
al-Qur’a@n, dengan tujuan menangkap maksud Allah yang tertuang di dalmnya,
tidak terlepas dari 4 metodologi[2], yaitu; ijmali, maudhu’i,
muqarin, dan tahlili. Masing-masing metode itu mempunyai
karakteristik tersendiri, baik dari sisi lebih maupun kurang. Metode ijmali@
kelebihannya, terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Penafsiran yang
menggunakan metode ini lebih cocok bagi pemula dan bagi orang yang ingin
belajar tafsir dengan singkat. Hal lain yang termasuk kelebihan dari metode
ijmali, yaitu; bebas dari penafsiran israiliat, akrab dengan bahasa arab,
artinya antara teks al-Qur’a@n dengan penafsiran tidak jauh berbeda, jika
enggan mengatakan, hanya sinonim[3]. Adapun kekurangan dari
metode ijmali@ adalah terkesan al-Qur’a@n bersifat farsial, padahal al-Qur’a@n
merupakan kesatuan yang utuh. Kekurangan lain yaitu tidak menyediakan ruanglingkup
untuk mengemukakan analisis yang dalam.
Dalam menangkap maksud Allah swt yang
tertuang di dalam al-Qur’a@n dari masa ke masa tidak ada habisnya, laksana air
laut yang tidak pernah habis baik di musim kemarau apalagi dimusim hujan.
Berbagai metode digunakan oleh para mufa@sir namun semuanya tidak terhindar
dari sisi lebih dan sisi kurang, dan keduanya itu menjadi karakteristik metode
tersebut. Metode penafsiran al-Qur’a@n bukan hal yang baru sejak masa s}ahabat
sudah ada. Hal itu terbukti pada cara s}ahabat menafsirkan yang berbeda-beda[4]. Sebaagian s}ahabat dalam
menafsirkan al-Qur’a@n hanya berpedoman kepaada riwayat semata, tidaak mau
menggunakan ijtihad. Sementara sebagian yang lain, di samping menafsirkan ayat
dengan hadits-hadits yang diterimanya dari Nabi atau dari sesamanya, mereka
menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya, di samping mereka menafsirkan dengan
atsar, mereka juga menafsirkan al-Qur’a@n dengan berpegang teguh kepada
kekuatan bahasa Arab dan asbab an-nuzul[5].
Sehingga pembaca historis turunnya ayat, tetapi terkesan al-Qur’a@n hanya
berlaku pada zaman itu.
Namun berbagai usaha
pendekatan dilakukan semuanya hanya berlaku pada masanya, dan terkesan kaku[6]. Padahal al-Qur’a@n lahir
untuk membimbing[7]
manusia kearah yang lebih baik di dunia dan kebahagian di akhirat. Berdasarkan
hal itu mufa@sir setelahnya berusaha keras untuk menafsirkan al-Qur’a@n yang
dapat menjawab masalah pada zamannya. Pada umunya tafsir yang lahir abad 20
silam menggunakan pendekatan yang didominasi lagika, sehinga terkesan
al-Qur’a@n membumi[8],
hidup di alam realitas.
Dari masa ke masa
kemajuan terus berkembang dan persoalan pun semakin rumit yang membutuhkan
jawaban. Sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Nabi, S}ahabat dan tabi’in,
pada generasi berikutnya lahir dan harus dijawab. Latar belakang itu yang
memberi motivasi pada para mufa@sir untuk segera menafsirkan al-Qur’a@n yang
dapat persoalan yang ada pada zamannya. Hampir semua mufa@sir dalam menafsirkan
al-Qur’a@n dilatar belakangi atas permohonan umat yang kehausan jawaban dari
masalah yang dihadapi.
Di abad 20an
bermunculan tafsir yang dalam penafsirannya didominasi ijtihad, hal itu sangat
lumrah karena ulama pada masa itu harus menjawab persoalan yang tidak ada pada
teks al-Qur’a@n maupun riwayat, atau ijtihad ulama sebelumnya. Ternyata hasil
ijtihad ulama pada abad 20an ini tidak sia-sia, bahkan dapat merubah mindset
(pola pikir) manusia pada masanya. Perbedaan sangat jelas antara tafsir klasik
dengan tafsir kontenporer. Namun sungguhpun demikian lahir tafsir kontnporer merupakan
terinspirasi atas tafsir-tafsir terdahulu. Pada tafsir ini hanya memasukan yang
sebelumnya tidak ada dan membuang sesuatu yang tidak perlu. Pada umumnya tafir
kontenporer lebih pleksibel dalam menafsirkan ayat. Terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman, namun tetap tidak mengaburkan makna al-Qur’a@n
secara harfiah.
Baik kontenporer
maupun klasik ada satu kesaam mufasir dalam menafsirkan ayat, yaitu metode,
corak, dan sumber. Artinya secara umum mufasir dalam menafsirkan ayat semuanya
tidak terlepas dari 4 metode, dan dua sumber yaitu ijtihadi atau riwayat.
hanya saja setiap mufasir beerbeda-beda dalam menggunakan sumber. Ada mufasir
yang hanya cenderung mengedepankan riwayat, ada juga yang hanya ijtihad, dan
aja juga yang memakai keduanya. Yang memakai keduanya, satu sama lain saling
mendominasi. Ada tafsir yang memakai dua sumber namun sumber ijtihad lebih
mendominasi. Di sisi lain ada tafsir yang memakai keduanya tetapi riwayat yang
sangat mendominasi.
Bagaimana dengan
tafsir al-Maraghi? Jelas karena tafsir ini termasuk alah satu tafsir yang lahir
pada abad 20, hampir dapat dipastikan dalam sumber penafsiran menggunakan dua
sumber tetapi ijtihad lebih mendominasi. Artinya al-Maraghi dalam penafsiran
tidak membuang riwayat tetapi seleksi atas riwayat yang menurutnya s}ahih, dan
penafsiran ulama-ulama terdahulu yang menurutnya penafsiran israiliat. Sehingga
al-Maraghi dalam menafsirkan terhindar dari penafsiran-penafsiran israiliat.
Lebih jelasnya penulis akan mendeskrifikan penafssiran al-Maraghi dalam
menafsirakan al-Qur’a@n berdasarkan analisa penulis. Dalam menganalisa penulis
menggunakan data primer dan sekunder, data primer yaitu tafsir al-Maraghi
sendiri dan data sekunder yaitu kitb atau buku dan yang lainnya yang memberikan
informasi tentang tafsir tersebut.
Dalam menganalisa
sebuah kitab tafsir tidak akan mendapatkan informasi yang cukup, jika penulis
kitab itu sendiri tidak diangkat. Karena itu selain penulis akan menginformasikan
deskrifsi kitab tafsir juga akan menyuguhkan biografi penulis, dengan harapan
pembaca merasa puas atas tulisan yang penulis sajikan.
B.
AHMADMUSTHAFA AL-MARAGHI DAN TAFSIRNYA
Biografi al-Maraghi
1. Nama dan Nisbah al-Maraghi
Sudah menjadi maklum setiap ulama terkenal
nama selengkapmnya sering tersembunyi. Karena pada umumnya namanya sering
dinis}batkan pada nama orang tua atau tempat di mana beliau dilahirkan. Yang dinis}batkan
kepada orang tuanya seperti Imam Shafi’iy[9],
dan ada juga yang dinis}batkan pada nama tempat tingalnya seperti Bukhari[10].
Begitu juga dengan al-Maraghi sama dengan ulama yang lainnya. kenamaan
al-Maraghi dinisbatkan pada nama tempat di mana beliau dilahirkan. Maka tidak
anaeh jika nama al-Maraghi bukan satu, banyak sekali seseorang yang ditambahi
nama al-Maraghi. Adapun al-Maraghi yang penulis maksud adalah Ahmad Mustafa ibn
Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun`im al-Qadi al-Maraghi. Ia dilahirkan di
al-Maraghah, sebuah kabupaten di tepi barat sungai Nil, Propinsi Suhaj, 70 km
arah selatan kota Kairo pada tahun 1300 H/1883 M, dan wafat di Hilwan, sebuah
kota kecil di sebelah selatan kota Kairo pada tahun 1371 H/1952 M, pada usia 69
tahun[11].
Julukan Al-Maraghi bukan kata yang menunjukkan marga atau nisbah yang disandarkan
pada nama keluarga, sebagaimana kata ‘al-Hasyimiy’ yang menunjukkan
keluarga dan keturunan Hasyim, melainkan disandarkan nama tempat di mana ia
dilahirkan[12]. Karena itu, nama
al-Maraghi, bukan serta merta menunjukkan yang bersangkutan mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Abdul Mun`im al-Maraghi (kakek Ahmad Musthafa al-Maraghi).
Dalam kitab Mu`jam al-Mu'allifîn karya Umar Ridha Kahlanah, ditemukan
biografi 13 tokoh yang memakai julukan al-Maraghi, dan kesemuanya tidak
memiliki pertalian darah dengan tokoh yang sedang kita kaji[13].
Dalam wacana, sering terjadi kekeliruan
dalam mengidentifikasi antara Muhammad Musthafa al-Maraghi dengan Ahmad
Musthafa al-Maraghi. Di dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan Ikhtiar Baru
Van Hove misalnya, disebutkan bahwa Tafsir al-Maraghi yang terdiri dari 30 juz
adalah karya Muhammad Musthafa al-Maraghi, demikian pula dalam pengantar
terjemahan Tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa penulis tafsir tersebut adalah
mantan Rektor Universitas al-Azhar Kairo. Kedua keterangan ini keliru sebab
penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung
Muhammad Musthafa al-Maraghi yang pernah menjadi pemimpin tertinggi di Universitas
tertua itu. Pada beberapa tempat nama Ahmad Musthafa al-Maraghi, kadang
ditambahkan dengan kata Beik. Hal ini ditemukan antara lain pada kitab
al-Fihris al-Maktab al-Azhariyyah, dan pada piagam penghargaan yang diberikan
oleh Raja Mesir, Faruq. Nama al-Maraghi pada dua tempat tersebut ditulis dengan
Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik[14].
2. Pendidikan al-Maraghi
Rumah merupakan
sekolah pertama (madrasah al-U#la) karenanya sebelum sampai pada usia
sekolah, al-Maraghi mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga, sama dengan
saudara-saudaranya yang lain. Hal ini karena ia terlahir dalam lingkungan
tradisi keilmuan yang sangat kental. Ayahnya, Musthafa al-Maraghi adalah
seorang ulama besar dan cukup terkenal di Mesir pada masanya[15].
Keberhasilan Musthafa al-Maraghi di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik
dalam lingkungan keluarga, termasuk atas Ahmad Musthafa al-Maraghi, terlihat
pada jelmaan anak-anaknya di kelak kemudian hari. Hasan Zaini menuturkan bahwa
Ahmad Musthafa al-Maraghi adalah seorang dari 9 orang bersaudara, dan semuanya
menjadi orang besar, lima orang di antaranya menjelma menjadi sosok akademisi,
dan empat orang saudaranya yang lain menjelma menjadi hakim[16].
Mereka yang menjadi akademisi adalah: a. Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah
menjabat Rektor Universitas al-Azhar selama dua periode; tahun 1928-1930 dan 1935-1945,
b. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maragh, c. Abdul
Aziz Al-Maraghi, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan Imam
Raja Faruq, d. Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar,
dan e. Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan
Universitas Al-Azhar.
Sementara putera Musthafa al-Maraghi yang menjadi hakim adalah a.
Muhammad Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo, b. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan
Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo, c. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait
dan di Pengadilan Tinggi Kairo, dan d. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di
Pengadilan Tinggi Kairo dan wakil Menteri kehakiman di Kairo.
Data di atas dapat dikatakan sebagai bukti
bahwa sejak masa kecilnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi telah menjalani proses
pendidikan non formal di bawah bimbingan orang tuanya, sebagaimana yang
diterima oleh saudarasaudaranya yang lain. Setidaknya, sang ayah, Musthafa
al-Maraghi, telah menanam dan menumbuhkan semangat pengabdian untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan agama, sekaligus cikal bakal pengetahuan yang dapat
dikembangkan ke depan.
Setelah menginjak usia sekolah, Ahmad Musthafa
al-Maraghi, menempuh pendidikan formal dengan memasuki madrasah di tempat kelahirannya,
Maraghah. Bukan hanya madrasah saja, ia pun menamatkan pendidikan menengahnya
di tempat yang sama. Selama dalam pendidikan dasar dan menengah, Ahmad Musthafa
al-Maraghi telah memperlihatkan antusiasme untuk mendalami al-Qur’an. Ia
memperbaiki bacaan, belajar tajwid, menghafal ayat-ayat al-Qur’an sehingga
sebuah prestasi besar sebagai dasar utama bagi seorang mufassir telah ia raih
dalam usia yang masih sangat beliau. Dalam usianya yang ke-13, ia telah menghafal
seluruh ayat al-Qur’an. Pada usianya yang ke-14 tahun atau tepatnya tahun 1897,
al-Maraghi diperintahkan orang tuanya untuk pergi ke Kairo agar belajar di
Universitas al-Azhar. Fokus perhatian untuk menjadi seorang mufassir pun nampak
kian jelas. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Arab, Balaghah,
Tafsir, dan Ilmu al-Qur'an, Ushul Fiqh, Hadits dan Ulum al-Hadits. Kiranya
akumulasi dari penguasaan atas ilmu-ilmu inilah yang mendudukkan Ahmad Musthafa
al-Maragi sejajar dengan mufassir-mufassir ternama. Di samping menempuh
pendidikan formal di Universitas al-Azhar, pada waktu yang bersamaan, Ahmad
Musthafa al-Maraghi juga mengikuti pendidikan di Fakultas Darul Ulum Kairo yang
belakangan tergabung dalam Univeritas Kairo (Cairo University).
Padatahun 1909, al-Maraghi merampungkan pendidikannya di kedua universitas itu
secara bersamaan. Pendidikan tinggi yang ia jalani di dua perguruan tinggi ternama
di negara piramid itu mempertemukannya dengan banyak ilmuwan terkenal pada masa
itu. Nama-nama populer seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bahits al-Muthi’i,
Ahmad Rif’i al-Fayumi, dan Muhammad Husnin al-Adawi, adalah para guru yang telah
mengantar Ahmad Musthafa al-Maraghi menjadi sosok mufassir yang terkenal[17].
3. Karir Intelektual Al-Maraghi
Al-Maraghi, adalah salah seorang tokoh
terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam usianya yang terbentang
selama 69 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain sebagai tenaga pengajar/dosen,
sumbangsih al-Maraghi juga diberikan lewat karyakaryanya. Jasa inilah yang memposisikan
al-Maraghi sebagai putera terbaik yang dilahirkan pada masanya. Ahmad Musthafa
al-Maraghi, menetapkan dunia pendidikan dan pengembangan ilmu agama sebagai
pilihan untuk mengabdi ilmunya. Karena itu, segera setelah lulus sebagai
sarjana, ia memulai karirnya di dunia pendidikan sebagai seorang guru/pendidik
di beberapa sekolah menengah. Kemudian ia diangkat menjadi Direktur Madrasah
Mu'allimin di Fayum sebuah kota yang berjarak kurang lebih 300 km ke arah barat
daya Kota Kairo. Kemudian pada tahun 1916 diangkat menjadi dosen ilmu-ilmu
Syari`ah di Fakultas Ghidrun di Sudan sebagai utusan dari Universitas al-Azhar[18].6
Tahun 1920, ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu
Syari’ah di Darul Ulum sampai tahun 1940. Di samping itu, ia juga dipercaya
mengajarkan Mata Kuliah Ilmu Balaghah di Fakultas Adab Universitas
Al-Azhar-Kairo. Selama mengajar di dua Universitas yang bertaraf internasional itu,
ia telah menularkan ilmunya kepada mahasiswa yang berasal dari berbagai negara
Islam, termasuk dari Indonesia. Adapun pemikir Islam Indonesia yang pernah
menjadi muridnya adalah Bustami Abdul Gani, Muchtar Yahya, Mastur Djahri,
Ibrahim Abdul Halim, Abdul Rajaq al-Amudy, dan mungkin masih banyak lagi. Selama
hidupnya, Ahmad Mustafa al-Maraghi tidak hanya mendalami al-Qur’an dan
tafsirnya saja, tetapi lebih dari itu dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
Oleh karena itu, tidaklah aneh jika
karya-karyanyapun tidak terbatas pada bidang tafsir saja.
Selain karya fenomenalnya berupa tafsir al-Qur’a@n 30 juz ini, al-Maraghi juga banyak
menuangkan pikirannya melalui berbagai tulisan, yaitu[19]:
a. al-Fath al-Mubîn fî Tabaqât al-Ushuliyyîn
b. Ulûm al-Balâghah
c. Hidayah al-Thâlib
d. Tahzîb al-Taudlîh
e. Buhûts wa Ârâ’
f. Târîkh `Ulûm al-Balâghah wa Ta`rîf bi Rijâlihâ
g. Mursyîd al-Thullâb
h. al-Mûjaz fî al-Adab al-`Arabî
i. al-Mûjaz fî `Ulûm al-Ushûl
j. al-Diyânân wa al-Akhlâq
k. al-Hishbah fî al-Islâm
l. al-Rifq bi al-Hayawân fî al-Islam
m. Syarh Tsalâtsin Hadîtsan
n. Tafsir Juz Innamâ al-Sabîl
o. Risâlah fî Zaujât al-Nabî
p. Risâlât Itsbât Ru’yah al-Hilâl fî Ramadhân
q. al-Khutabâ fî Daulah al-Ummawiyyah wa al-`Abbâsiyyah, dan
r. al-Muthâla`ah al-`Arabiyyah li al-Madâris al-Sudâniyyah Sejumlah
karya Ahmad Musthafa al-Maraghi yang disebutkan di atas, merupakan gambaran
nyata tentang komprehensifitas ilmu-ilmu keislaman yang ia kuasai.
Seperti terlihat di jajaran karya-karyanya
di atas, yang nyaris merepresentasikan semua disiplin ilmu keislaman, seperti
fiqh dan ushul fiqh, sejarah, tafsir, hadits dan lain lain. Bahkan karya-karya
tersebutmengesankan diri AhmadMusthafa al-Maraghi memiliki perhatian besar
(kepedulian) terhadap persoalan lingkungan hidup, seperti binatang. Hal ini
dibuktikan dengan salah satu tulisannya yang berjudul al-Rifq bi al-Hayawân
fî al-Islâm. Namun demikian, dari sekian banyak karyanya, yang paling menonjol
adalah karya tafsirnya yang dikenal dengan Tafsir al-Maraghi, yang terdiri dari
10 jilid. Karya ini yang mengantar dirinya meraih popularitas di dunia Islam,
pada umumnya.
C. Kondisi Sosial dan Corak Pemikiran
al-Maraghi
1. Kondisi Sosial di mana al-Maraghi Hidup
Berdasarkan biografi yang telah dipaparkan
sebelumnya, diperoleh sebuah keterangan bahwa Ahmad Musthafa al-Maraghi hidup
selama 69 tahun. Masa tersebut terbentang dari 1300 H/1883 M sampai 1371
H/1952. Dalam konteks kajian atas peran seorang tokoh, kondisi sosial dalam
kurun waktu tersebut merupakan hal yang sangat penting. Asumsinya, jelas bahwa
seorang pemikir pasti terbentuk oleh kondisi yang melingkupinya, karena
sepenggal pemikiran tidak lain dari respon terhadap realitas sosial itu
sendiri. Karena itu, urgensi kondisi sosial ini dihadirkan antara lain untuk melihat
pengaruhnya terhadap corak pemikirannya dalam memahami ayat-ayat suci
al-Qur’an. Masa kehidupan Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1883 – 1952, merupakan
bagian penting dari sejarah dinamika sosial-politik Mesir, sebuah kurun waktu
di mana, Mesir mengalami perubahan dalam berbagai aspek, sosial, politik dan
pergumulan intelektual. Para ahli sejarah sosial setuju bahwa tahun 1798
merupakan awal sejarah terbentuknya Mesir modern[20].
Dinamika yang terjadi dilatarbelakangi oleh dua fenomena besar. Di satu sisi,
kesultanan Turki Usmani yang pada masa-masa sebelumnya mencakup banyak wilayah
Islam, termasuk Mesir, sedikit demi sedikit mulai digerogoti perpecahan
internal, di sisi lain, kekuatan Barat semakin bertambah dan menancapkan
cengkraman ke berbagai wilayah. Kebanyakan wilayah-wilayah yang merupakan pusat
Islam itu dengan cepat menjadi daerah taklukan[21].
Dalam pada itu, Mesir di satu sisi berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Usmani,
namun di sisi lain juga berupaya untuk menghindarkan diri dari kekuatan dan
cengkeraman barat/Inggris. Pasukan Inggris menempati Mesir pada tahun 1882
untuk membungkam pemberontakan kaum nasionalis yang dipimpin oleh kolonel Ahmad
Urabi[22].
Meskipun Mesir masih di bawah kekuasaan Turki Usmani, ketaatannya hanya
bersifat pragmatis. Kedatangan bangsa Eropa ini telah menyadarkan penduduk
Mesir bahwa mereka tertinggal jauh oleh Eropa. Kesadaran tersebut pada akhirnya
memunculkan keinginan untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam pada masa
silam. Dengan melemahnya kekuatan Usmani dan menguatnya cengkraman Barat, sikap
nasionalisme di kalangan bangsa Mesir. Tokoh yang berjasa dalam memunculkan
Nasionalisme Mesir adalah al-Tahtawi. Sepulangnya dari Paris al-Tahtawi banyak
melakukan terjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab. Baginya, sosial mengambil
alih peran yang lebih dari agama, dan untuk pertama kalinya orang Arab
menggunakan kata "nation" dalam sekuler pengertian[23].
Ide-ide al-Tahtawi telah memfasilitasi pertumbuhan nasionalisme Mesir dan
menciptakan keharmonisan konsep sosial Eropa dan Islam[24].
Namun demikian, nasionalisme dalam pandangan mereka tidak berwujud dalam konsep
yang seragam. Dilihat dari pijakan, nasionalisme yang terbentuk di Mesir kala
itu dapat dipilah menjadi tiga model, yaitu: pertama, nasionalisme yang
berbasis agama. Kedua, nasionalisme yang berbasis persamaan bangsa dan
bahasa, dan ketiga, nasionalisme berbasis pada kesamaan tempat atau
teritorial. Nasionalisme bentuk ketiga inilah yang paling banyak dianut oleh masyarakat
Mesir. Akan tetapi, setelah Mesir jatuh ke tangan Inggris kelompok ketiga ini
melemah dan kelompok pertama yang menguat. Saat itu Mesir meminta pertolongan
Usmaniyah untuk membantunya melepaskan diri dari belenggu Inggris. Sebagai
representasi dari menguatnya kelompok pertama di atas, muncul partai yang cenderung
menganut nasionalisme religius, yaitu al-Hizb al-Wathanî yang dipimpin
oleh Mustafa Kamil. Menurutnya, agama dan nasionalisme adalah kembar dan tidak
dapat dipisahkan. Orang yang hatinya berpegang kepada agama pasti akan
mencintai tanah airnya dan mengorbankan harta dan hidupnya untuk itu. Pada
tahun 1919 di Mesir terjadi revolusi dalam rangka membebaskan diri dari
penjajahan Inggris yang berlangsung hingga tahun 1921 dan berakhir dengan
diserahkannya pengelolaan Mesir kepada putra Mesir dibawah pimpinan Sa`ad Zaghlul.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam
mengkaji Mesir adalah pemikiran politiknya yang sejak awal abad ke-19 selalu didominasi
oleh pertentangan antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam
tradisional[25]. Golongan pertama diwakili oleh intelektual
yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka berpendapat bahwa sistem
politik Mesir harus mengikuti sistem
yang berlaku di Barat, dengan begitu Mesir tidak akan tertinggal dalam bidang
teknologi. Golongan kedua, yaitu golongan Islam tradisionalis, adalah
terdiri atas para ulama yang selama ini menganggap diri mereka sebagai
penasehat penguasa. Kelompok kedua ini dianggap oleh kelompok pertama sebagai
penghambat modernisasi dan penyebab timbulnya keterbelakangan di bidang sosial,
politik, dan ekonomi.
Kondisi politik yang demikian telah
berpengaruh besar terhadap pesatnya perkembangan intelektual dalam berbagai
disiplin. Munculnya
kelompok yang cenderung pro Barat di Mesir diawali dengan pengiriman pelajar-pelajar
Mesir ke Eropa seperti Prancis dan Inggris yang dilakukan oleh Muhammad Ali. Sebagai
seorang penguasa yang masih dibayang-bayangi kerajaan Mamluk, keinginannya
untuk senantiasa memperluas kekuasaannya kebijakan militer yang cukup bagus.
Pada tahun 1816 Ali membentuk tentara yang disiplinnya diadaptasi dari Eropa.
Lama-kelamaan kebijakannya dalam mengikuti pola Eropa tidak hanya terbatas pada
aspek militer saja, tetapi jauh lebih luas, seperti teknologi dan pendidikan. Sehingga tidak heran jika muncul banyak
tokoh besar, seperti Thaha Husein, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasim Amin,
Ali Abdul Raziq, dan Ahmad Mustafa al-Maraghi. Pada abad ke-19 dan 20 ini, atau
tepatnya tahun 1923-1952, Mesir mengalami sebuah zaman yang disebut dengan liberal
age (zaman liberal). Disebut demikian karena pada masa itu telah tumbuh liberalisme
yang berakibat pada munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama,
kebudayaan dan politik. Menurut Selma Botman, zaman liberal mengutamakan sistem
politik yang memiliki konstitusi yang ber-style barat dan pemerintahan
parlementer. Konstitusi Mesir mencontoh demokrasi barat yang liberal dan menarik
ahli hukum dari Mesir sebagai bentuk simpatik kepada raja Inggris.
Dengan berkembangnya liberalisme di Mesir,
lahirlah apa yang disebut dengan nahdah (kelahiran kembali). Hal ini
dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan mengadopsi prestasi-prestasi yang
telah dicapai oleh Eropa modern[26].
Oleh karena itu, secara garis besar di Mesir terdapat tiga kecenderungan
pemikiran yang muncul pada masa itu. Pertama, kecenderungan pada Islam
yang diwakili oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dan Hasan al-Banna
(1906-1949). Kedua, kecenderungan mengambil sintesis, yaitu dengan
berusaha memadukan antara ajaran Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili
Muhammad Abduh, Qasim Amin (1865-1908), dan Ali Abdul Raziq (1888-1966). Ketiga,
kecenderungan rasional dan pemikiran bebas yang diwakili oleh Lutfi al-Sayyid
dan para emigran Syiria yang lari ke Mesir. Kelompok ini senantiasa mengacu
kepada prestasi-prestasi ilmiah yang dicapai oleh Barat. Selain
kelompok-kelompok di atas, terdapat organisasi di luar politik seperti
Persatuan Umat Islam, Kelompok Muda Mesir, komunis, dan asosiasi perempuan juga
memberikan kontribusi bagi pembentukan kultur politik Mesir. Dari segi ekonomi,
Mesir pada saat itu adalah sebuah negara yang miskin. Keadaan ini merupakan
warisan dari eksploitasi orang-orang kerajaan Mamluk, sebuah pemerintahan
oligarki militer yang mempertahankan keberadaannya dengan mendatangkan anggota-anggota
baru dari Kaukasus dan Asia Tengah. Sebagai akibat dari kemiskinan dan
kurangnya pendidikan, masyarakat cenderung mencari pelarian, dan pelariannya
tidak lain berkembangnya kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau takhayul. Akhir
abad ke 19, diidentikkan dengan abad kebangkitan umat Islam setelah terpuruk
dalam disintegrasi, pemerintahan yang despotis, dan kebodohan yang menyelimuti
masyarakatnya. Hal ini, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir modern di
dunia Islam yang dimotivasi oleh berkembangnya teknologi di dunia Barat. Rangsangan
pertama yang mendapat respon positif di kalangan umat Islam adalah ide-ide
tentang kebangsaan, persamaan, dan sistem pemerintahan yang dibawa oleh
Napoleon. Ide ini dianggap angin segar bagi potensi perubahan di dunia Islam. Secara
perlahan, ide-ide itu mengalir dan menjadi wacana di kalangan muda Islam.
Penguasa di Mesir pada waktu itu (Muhammad Ali Pasha) banyak melakukan
perubahan signifikan dalam melakukan pembaharuan. Dalam bidang pendidikan
misalnya, dia mengirim golongan muda untuk menimba ilmu pengetahuan di Prancis,
meliputi administrasi pemerintahan, teknik, strategi perang, perairan, pertanian,
pertahanan keamanan, dan industri senjata. Rakyat Mesir sendiri sedikit demi
sedikit terbuka matanya untuk melihat persoalan menyangkut diri dan bangsanya. Upaya
Muhammad Ali dilanjutkan oleh penerusnya Khedive Ismail (1863 – 1879). Pada
awalnya dia mencoba mencari dukungan para ulama untuk melakukan modernisasi di
Mesir, tetapi karena tidak berkompromi dengannya ia pun memungut kebijaksanaan penguasa terdahulu Muhammad Ali,
lembaga-lembaga sekuler baru menurut contoh di Barat berjalan sejajar dengan
lembaga-lembaga Islam tradisional. Perguruan-perguruan yang bersifat nasional
dan sekuler dibangun berdampingan dengan sistem keagamaan tradisional. Hukum
Islam dan peradilan-peradilan Islam dibatasi wewenangnya dalam masalah
kekeluargaan (perkawinan, perceraian, warisan) disebabkan negara sudah
memperlakukan hukum umum berdasarkan Hukum Perancis (Kode Napoleon),
diselenggarakan oleh peradilan-peradilan Sipil. Keterampilan baru diperlukan
dalam suatu masyarakat modern merupakan kelompok-kelompok tertentu seumpama
insinyur, sarjana hukum, dokter, wartawan, dan lainnya, yakni produk
perguruan-perguruan nasional yang modern dan sekuler, dan kini “merupakan
tantangan terhadap pimpinan politik dan intelektual dan sosial yang dinikmati
para Ulama selama ini, dan menyebabkan mereka itu lambat laun tersingkir dari
arena politik”. Proses modernisasi itu disertai pula oleh kebangkitan
sentimensentimen nasional yang berkembang sebagai tantangan terhadap Perancis
pada pertama kalinya dan kemudian terhadap dominasi Inggris terhadap pengganti
Ismail, yakni Khedive Taufik. Akibatnya ialah revolusi anti-kolonial pada tahun
1881 dipimpin oleh Arabi Pasha, yang menjabat Menteri Peperangan dalam Kabinet
Mesir. Peristiwa itu memberikan alasan bagi Inggris untuk mengerahkan militer
menduduki Mesir dan sepanjang de facto. Sekalipun bukan de jure telah
menguasai Mesir. Sebagai bangsa yang tidak pernah dipimpin oleh penduduk aslinya,
ketika ide-ide persamaan hak, harkat kebangsaan, cinta bangsa (hubb
al-wathân) digulirkan, dengan cepat responnya meluas dikalangan masyarakat.
Transfer teknologi dari Eropa begitu gencar dilakukan; penerbitan-penerbitan
yang dapat secara cepat mensosialisasikan ide-ide di atas juga dilaksanakan,
sehingga langkah-langkah menuju perubahan tidak berhenti pada tataran ide. Penerbitan
buku-buku yang berisi teori politik dan pemerintahan di Barat, telah membuka
mata umat Islam untuk melihat kembali konsep tesebut dalam ajaran Islam.
Al-Tahtawi—seorang pembaharu di Mesir—juga mulai mengkritisi berbagai konsep yang
sedang berkembang di Barat. Ia pernah menjelaskan bahwa peraturan-peraturan dan teori-teori Barat itu
tidak berdasarkan pada al-Qur'an dan Hadis. Arah pembaharuan di Mesir tidak
hanya bergerak dalam bidang fisik semata, tetapi lambat laun memasuki wilayah
keagamaan. Muhammad Ali Pasha yang ide-ide pembaharuannya lebih banyak menyangkut
politik pemerintahan, dilanjutkan oleh al-Tahtawi yang mulai mencari
justifikasi dari al-Qur'an dan Hadis. Hasil terjemahan yang dibuat oleh
al-Tahtawi cukup membantu dalam mensosialisasikan ide-ide demokrasi dan
kebangsaan. Tokoh lain yang tidak dapat dilewatkan dalam proses pembaharuan di
Mesir adalah Jamaludin al-Afghani (1838 – 1897). Laki-laki kelahiran Afganistan
ini, banyak mengeluarkan ide-ide tentang persatuan Islam dan dalam gerakannya
itu, yang diiringi pula dengan aktivitasnya dalam berpolitik. Jamaludin Al
Afghani merupakan penganjur pertama bagi pembaharuan Islam dan perubahan Islam
dan pula merupakan Bapak bagi gerakan Nasionalisme Muslim. Gerakan al-Afghani, secara geografis begitu
luas hingga mencakup Iran, India, Dunia Arab, Turki, dan Eropa. Dan menurut Goldschmidt,
kemanapun dia pergi, maka dia senantiasa memberikan ceramah. Sasaran ceramah
dan kritik yang dilakukan oleh al-Afghani, tidak hanya penguasa yang cenderung
mengakomodasi pendapat Barat, tetapi juga para ulama dan rakyat. Dalam salah
satu ceramahnya, al-Afghani mengkritik kepasifan atau kejumudan para ulama.
Berikut ini petikannya: Ulama sebagai pemelihara akidah dan hidayah tidak pernah
berhubungan, bahkan tidak berkomunikasi sesama mereka. Ulama Turki tidak tahu
sama sekali dengan keadaan ulama Hijaz. Ulama India tidak tahu dengan ulama
Afganistan. Begitulah seterusnya, bahkan antar ulama dalam satu negeripun tidak
punya ikatan satu sama lain. Mereka tidak mempunyai hubungan yang menyatukan,
kecuali sebatas hubungan pribadi secara umum, yaitu hubungan persahabatan dan
kekerabatan. Meskipun al-Afghani banyak mengkritik para ulama, kenyataanya seruannya
untuk kembali kepada Islam dan persatuan kaum muslimin diterima oleh kalangan
ulama konservatif. Rakyat pun tidak lepas dari sorotannya, sehingga dalam suatu
ceramahnya dia berbicara keras mengenai nasib rakyat Mesir. Menurutnya, bangsa
Mesir yang telah berabad-abad berada dalam perbudakan masih mentolelir
penguasa-penguasa zalim yang secara langsung menindas mereka. Berkat
aktivitasnya dalam menyampaikan ceramah, al-Afghani pernah dicap sebagai agen provokasi
tingkat tinggi. Pembaharuan di dunia Mesir, kemudian dilanjutkan oleh Muhammad
Abduh, murid al-Afghani, yang dalam pemikirannya lebih terbuka untuk menerima
ide-ide rasional. Ide pembaharuan Abduh, muncul karena kemunduran umat Islam,
dan banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran ini dengan berupaya meniru Barat.
Menurutnya, rendahnya kedudukan umat Islam disebabkan karena mereka telah
meninggalkan Islam yang sejati.
Pembaharuan Muhammad Abduh meliputi tiga
hal, yaitu: Pertama, Pembaharuan Agama (al-Ishlâh al-Dînî), kedua,
Pembaharuan dalam lapangan bahasa (al-Ishlâh al-Lughawî), dan ketiga,
Pembaharuan dalam bidang politik (al-Ishlâh al-Siyâsî). Pembaharuan
dalam bidang agama, menurut Muhammad Abduh adalah membebaskan akal pikiran dari
taklid, memahami agama lewat pemahaman kaum salaf sebelum terjadi perselisihan,
dan kembali kepada sumber-sumber utama dan asli dalam mencari pengetahuan agama
sambil melerakkannya dalam keseimbangan akal sebagai karunia Allah. Menurutnya,
akal merupakan teman sejajar ilmu, penyingkap rahasia alam, penyeru untuk
menghormati hakikat sejati, dan salah satu sarana terbaik untuk meluruskan
perbuatan dan mendidik jiwa. Mengenai kondisi umat Islam, Muhammad Abduh
melihat bahwa masyarakat Islam mundur karena kemiskinan jiwa dan salah dalam
membimbing akal pikiran. Keduanya itu timbul karena merajalelanya sikap egois
dan hilangnya kebersamaan dalam masyarakat. Khusus untuk masyarakat Mesir,
kelemahan mereka menurut Abduh antara lain: munculnya bid'ah dalam agama
seperti ziarah ke kuburan wali; terjadinya suap menyuap; dan tumbuhnya sikap individualisme
yang disebabkan oleh putusnya hubungan jiwa satu sama lain. Penyebab kemunduran
umat Islam lainnya adalah faktor Pendidikan. Oleh karena itu, ketika Abduh
menjabat sebagai anggota Majlis A`la al-Azhar, dia membawa perubahan dan
perbaikan ke dalam almamaternya itu. Salah satu tawarannya adalah agar Universitas
al-Azhar membuka jurusan kedokteran dan farmasi. Menurutnya kesehatan
masyarakat perlu didukung oleh lingkungannya. Setting sosial yang telah
digambarkan di atas merupakan latar belakang semakin menguatnya penafsiran yang
bercorak rasional. Seperti yang telah kita lihat bahwa sejumlah tokoh yang
mengambil peran di garda depan dalam kontek pembaharuan Mesir diantaranya tercatat
beberapa mufassir terkenal. Sementara, sudah merupakan hukum sosial bahwa
penafsiran al-Qur’an atau pemikiran apapun yang melibatkan seorang tokoh, tidak
akan terlepas dari latar belakang sosio-historis di mana dan kapan seorang
pemikir itu hidup. Dalam bidang fikih, dikenal Imam Syafi'i yang memiliki dua
konsep yang berbeda dalam berijtihad. Ketika dia masih hidup di Bagdad, dia memiliki
ijtihad dan pemikiran tersendiri, yang biasa dikenal dengan qaul qadîm, dan
ketika dia berpindah ke Mesir, ada beberapa ijtihadnya yang justru berbeda,
kalau tidak dikatakan bertentangan, dengan ijtihad sebelumnya. Ini menunjukkan
bahwa seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya. Selain
kondisi sosial, pengaruh besar juga senantiasa lahir dari hubungan seorang guru
dan murid, bahkan menentukan corak dan warna pemikirannya. Seorang guru yang
tekstualis, kemungkinan besar akan melahirkan murid-murid yang tekstualis juga.
Demikian juga seorang guru yang rasional, sedikitnya akan berpengaruh pada cara
pandang dan pemikiran muridnya. Corak pemikiran Jamaluddin al-Afgani sangat
berpengaruh sekali pada corak pemikiran muridnya Muhammad Abduh, demikian juga
pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh pada pemikiran Rasyid Ridha, dan
demikian seterusnya[27].
2. Corak Pemikiran al-Maraghi
Apa yang dipaparkan di atas, memberi
gambaran mengenai corak pemikiran Al-Maraghi di dalam tafsirnya. Kehidupannya
yang sarat dengan probelematika sosial dari berbagai aspek kehidupan dan hubungannya
dengan beberapa tokoh rasionalis menunjukkan dengan jelas, bahwa pemikirannya,
termasuk yang dituangkan di dalam tafsirnya juga bercorak rasional. Indikator
kunci untuk memasuki bahasan ini selanjutnya adalah bahwa Tafsir al-Maraghi
masuk di dalam kategori corak tafsir al-adab al-ijtima`iy (sastra
budaya) sebagaimana tafsir yang dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh.
Meski demikian, persentuhannya dengan kaum tradisionalis yang ada di masanya,
tentu ia tidak sepenuhnya meninggalkan pola lama sebagaimana tafsir yang ada
sebelumnya secara umum. Agar hal ini lebih jelas, maka berikut ini, penulis
memaparkan secara ringkas kecenderungan pemikiran al-Maraghi di bidang teologi,
hukum, dan pandangannya tentang peran akal dalam melakukan ijtihad. Al-Maraghi
tidak pernah mengidentifikasi dirinya sebagai pengikut aliran pemikiran teologi
tertentu, bahkan ia sangat menyesalkan dan mencela perpecahan yang terjadi di
kalangan Islam yang disebabkan oleh adanya berbagai macam aliran dan sekte
dalam teologi. Ia bahkan mensinyalir keberadaan sekte-sekte inilah yang memporak-porandakan
persatuan dan kesatuan umat Islam serta menodai catatan sejarah Islam. Kendati
demikian, nampaknya ia banyak terpengaruh dengan kondisi sosialnya sehingga
corak pemikirannya lebih rasional dan lebih dekat pada aliran mu’tazilah. Hal
ini antara lain tercermin di dalam konsepsi mengenai iman menurut pemahaman
al-Maraghi. Iman baginya adalah bukan sekedar konsep belaka tetapi ia harus teraktualisasi
di dalam kehidupan sehari-hari.
D. Profil Tafsir al-Maraghi
1. Penulisan Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi adalah karya Ahmad
Musthafa al-Maraghi. Penamaan ini dinisbahkan pada nama tempat kelahirannya,
al-Maragha, sebagaimana nisbah yang disebutkan di belakang namanya. Hal ini
penting untuk disebutkan karena kadang ada anggapan bahwa tafsir al-Maraghi
adalah karya mantan Syaekh al-Azhar, Muhammad Musthafa al-Maraghi, kakak
kandung Ahmad Musthafa al-Maraghi sendiri. Memang, Muhammad Musthafa al-Maraghi
juga melahirkan karya tafsir, hanya saja terbatas pada beberapa surah
al-Qur’an. Kemungkinan terjadinya kekeliruan semakin besar sebab nisbah
al-Maraghi bukan hanya digunakan oleh keluarga Musthafa al-Maraghi, tetapi juga
orang lain yang berasal dari tempat yang sama, al-Maragha. Tafsir Al-Maraghi
merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa Al-Maraghi selama
kurang lebih 10 tahun (1940-1950M). Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Ahmad
Musthafa Al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang
dosen melainkan kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu.
Menurut sebuah sumber bahwa ketika Al-Maraghi menulis tafsirnya ia hanya
membutuhkan waktu istirahat selama empat jam dalam sehari sedangkan 20 jam yang
tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada
paruh terakhir, Al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan
hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah. Lalu dilanjutkan dengan
menulis tafsir ayat-demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat
kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya,
melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam.
Demikianlah aktifitas Al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta-tinta
emas sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase Perpustakaan Islam di
berbagai negara muslim dewasa ini.
Tafsir Al-Maraghi untuk pertama kalinya
diterbitkan di Kairo pada tahun 1951 M. Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir
al-Marghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz
Al-Qur'an. Lalu pada penerbitan yang kedua, terdiri dari 10 jilid dimana setiap
jilid berisi 3 juz dan selanjutnya juga pernah diterbitkan ke dalam 15 jilid
dimana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah
Tafsir Al-Maraghi yang diterbitkan ke dalam 10 jilid. Penulisan tafsir
al-Maraghi dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan tafsir untuk memahami
kandungan al-Qur’an di satu sisi dan realitas obyektif tafsir-tafsir yang sudah
ada[28].
Berdasarkan pengamatannya bahwa penjelasan-penjelasan yang dimuat di dalam banyak
tafsir bercampur dengan hal-hal yang tidak penting, seperti cerita-cerita yang
tidak masuk akal, istilah-istilah teknis dari disiplin ilmu tertentu seperti balaghah,
bahkan pada persoalan khilafiyah dan pertikaian antar mazhab yang justru
menjauhkan al-Qur’an dari fungsinya sebagai petunjuk. Bagi al-Maraghi, realitas
obyektif tafsir yang demikian tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan penjelasan-penjelasan
al-Qur’an. Realitas tersebut menggugah rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai
salah seorang ulama tafsir. Muncul sebuah kesadaran di dalam dirinya bahwa
problema tersebut membutuhkan pemecahan sekaligus merasa terpanggil untuk
menawarkan solusi-solusi yang berdasarkan dalil-dalil qur’ani yang dapat
dijadikan alternatif. Maka dari itu tidak mengherankan apabila tafsir yang
lahir dari tangannya tampil dengan gayanya yang modern. Dikatakan modern karena
ia disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern. Hal ini
terlihat pada penuturan Al-Maraghi sendiri yang dituangkan dalam pembukaan
tafsirnya. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa penulisan tafsir yang ia lakukan
merupakan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, disusun secara sistematis,
diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan masalah-masalahyang
dibahas benar-benar didukung dengan hujjah, bukti-bukti nyata serta berbagai
percobaan yang diperlukan. Dari sini pula, al-Maraghi berupaya menyajikan pendapat-pendapat
para ahli dalam berbagai cabang ilmu yang relevan. Selain ungkapan al-maraghi
sendiri, karakteristik Tafsir al-Maraghi juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh
antara lain:
2. Metodologi Tafsir al-Maraghi
Tafsir adalah sebuah cara yang dilakukan
manusia untuk memahami pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Oleh karena itu,
keberadaan disiplin-disiplin ilmu yang dapat menunjang penafsiran yang baik
sangat diperlukan. Sebagai contoh, penguasaan ilmu nahwu bagi seorang mufassir tidak dapat diabaikan karena kesalahan
pemahaman terhadap struktur bahasa Arab dapat menimbulkan pemahaman yang
menyimpang terhadap al-Qur’an itu sendiri. Hal lain yang tidak dapat dihindari
dalam upaya menafsirkanal-Qur’anadalah metode yang digunakan oleh mufassir. Yang
dimaksud denganmetode penafsiran al-Qur’an adalah cara penafsiran al-Qur’an
baik berdasarkan sumber-sumber penafsirannya maupun
penjelasan tentang sasaran dan tertib ayat-ayat al-Qur’an.
Karena itu perlu adanya cara yang tepat untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu
suatu cara yang harus dijadikan sebagai pegangan oleh para ahli tafsir di
setiap generasi.51 Sampai saat ini, setidaknya ada empat metode penafsiran
al-Qur’an yang dikenal oleh masyarakat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî,
metode muqârin, dan metode maudhû`i. Tafsir tahlîlî adalah
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh aspeknya. Aspek-aspek yang dikaji dalam metode ini meliputi kosakata,
korelasi ayat, dan asbâb al-nuzûl-nya. Kelemahan yang dimiliki oleh
metode tafsir ini adalah, pada satu saat mufassir bisa sangat
bertele-tele dalam menafsirkan suatu ayat, dan pada sisi lain bisa sangat
singkat yang hampir menyerupai terjemahan. Tafsir ijmâlî adalah metode
tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna
global. Di sini mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan
yang ada dalam mushaf.54 Kelemahan metode ini adalah gaya bahasa dan lafaz yang
digunakan oleh mufassir mirip bahkan sama dengan lafaz-lafaz al-Qur’an,
sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebuttidak jauh dari gaya
bahasa al-Qur’an itu sendiri. Meskipun begitu, metode ini lebih mengajak
pembaca untuk berbicara langsung dengan al-Qur’an. Di sini seolah-olah al-Qur’an
sendiri yang berbicara, sehingga makna-makna yang timbul lebih mudah diserap.
Metode muqârin adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang ditulis oleh para mufassir. Di sini mufassir menghimpun
sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir
mengenai suatu ayat melalui kitab-kitab tafsir mereka.56 Metode tafsir maudhû`i
adalah metode penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang telah
ditentukan. Setelah itu dibahas dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan.57 Setelah melihat pada metode-metode penafsiran
yang ada, metode apakah yang digunakan al-Maraghi dalam tafsirnya? Jika dilihat
dari sumbernya, tafsir al-Maraghi lebih mengarah pada tafsir bi al-ra’y,
karena dalam penafsirannya selalu diiringi dengan interpretasi akal atau
ijtihad. Akan tetapi, bukan berarti al-Maraghi tidak menggunakan pendekatan
tafsir bi al-ma’tsûr. Keberadaan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis lebih
sebagai penguat dari ijtihadnya. Dilihat dari metode penafsirannya, al-Maraghi
lebih menggunakan metode tahlîlî. Ini terlihat dari cara penafsirannya
yang sesuai dengan urutan ayat yang telah tersusun dalam mushaf. Pertama-tama
al-Maraghi menuliskan kosa kata dari lafal-lafal ayat yang dirasa sulit untuk
dipahami. Setelah itu al-Maraghi menjelaskan makna ayat secara global, diikuti
dengan asbâb al-nuzul dari ayat tersebut, dan terakhir pemikirannya
mengenai ayat tersebut yang dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan
masyarakat. Hal yang terakhir ini memberi isyarat bahwa Tafsir al-Maraghi
bercorak sastra budaya (al-adab al-ijtima’iy). Sebuah corak tafsir yang
dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh, yakni tafsir yang menjelaskan
ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ketelitian ungkapanungkapan yang disusun dengan
bahasa yang lugas, menekankan tujuan pokok turunnya al-Qur'an, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan sosial sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat.
3. Corak Tafsîr al-Maraghi
Dalam setiap pembahasan tafsirnya,
al-Maraghi senantiasa mendahulukan pembahasan tentang ulumul Qur’an. Hal ini
dilakukan sebagai modal awal untuk memahami tafsir setiap ayat dalam al-Qur’an.
Yang dilakukannya setelah itu adalah penjelasan mengenai sistemtafsirnya,
yaitu:
a.
Menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di awal pembahasan Pada setiap
awal pembahasan, ia memulai dengan satu atau lebih ayat-ayat al-Qur’an.
Ayat-ayat tersebut disusun sehingga memberikan pengertian yang integral.40
b.
Menjelaskan kosa kata (Syarh al-mufradât) Yang dimaksud
dengan penjelasan kata-kata adalah penjelasan kata dari segi bahasa. Hal ini
dilakukan jika terdapat kata-kata yang tidak atau kurang dipahami oleh para
pembaca.41 Dalam hal ini, al-Maraghi tampaknya berpatokan pada ungkapan Imam
Malik yang diriwayatkan oleh Imam Baihaki yang berbunyi
“Seseorang
yang tidak mengerti tentang bahasa Arab, jika diperbolehkan untuk menafsirkan
al-Qur’an maka ia menjadi contoh yang jelek saja. Hal senada dilontarkan oleh Manna` al-Qaththan, Hasbi
Ash-Shiddiqie dan al-Suyuti. Mereka menyatakan betapa pentingnya pengetahuan
bahasa untuk menjelaskan kata-kata bagi mereka yang menafsirkan kitab Allah. c.
Menjelaskan pengertian ayat secara global Yang dimaksud dengan pengertian ayat
secara global adalah dengan menyebutkan ayat-ayat, dengan harapan agar para pembaca
sebelum memasuki pembahasan sudah mengetahui makna ayat-ayat terlebih dahulu.43
d. Menjelaskan Asbâb al-Nuzûl Jika terdapat riwayat sahih dari hadis
yang selama ini menjadi pegangan para mufassir maka al-Maraghi
mencantumkan asbâb alnuzûlnya. Asbâb al-Nuzûl memiliki peran penting
dalam penafsiran al-Qur’an. Sebagaimana yang ditulis Hasbi Ash-Shiddiqie,
al-Wahidi pernah mengungkapkan bahwa “tidak mungkin kita dapat mengetahui
tafsir ayat tanpa mengetahui terlebih dahulu kisah dan sebab turunnya[29].
Agaknya ungkapan al-Wahidi tersebut
diperhatikan betul oleh al-Maraghi, sehingga keberadaan asbâb al-nuzûl dari
suatu ayat tidak diabaikan begitu saja.
e. Mengesampingkan istilah-istilah yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Dalam tafsirnya, al-Maraghi sengaja mengesampingkan istilahistilah
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, seperti nahwu, sharaf, dan balaghah.
Menurutnya, apabila di dalam kitab tafsir terdapat istilah-istilah sejenis
maka pembaca akan terhambat dalam memahami kitab tafsir, sehingga tujuan utama
dalam mendalami pengetahuan tafsir akan mengalami hambatan.45 Tampaknya,
al-Maraghi di sini sangat berhati hati agar tidak terjebak ke dalam kajian
bahasa dan ilmu pengetahuan. Namun, sebagaimana dinyatakannya sendiri,
al-Maraghi justru sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
modern dengan mencoba mencari landasannya dalam al-Qur’an. Baginya, semua itu
berfungsi sebagai pendukung untuk memahami al-Qur’an. Ia mengatakan: Jadi,
pembahasan tafsir yang kami sajikan ini juga dibarengi dengan ilmu pengetahuan
(sains) yang dapat mendukungpemahaman isi Al-Qur’an. Kami sadar, bahwa upaya
ini merupakan kewajiban bagi para ahli agama. Tetapi, wajib pula bagi mereka
untuk menanyakan masalah-masalah kepada para ahli sains untuk sekedar
memberikan penjelasan, disamping agar lebih bersesuaian dengan situasi masa.
Sebab, jika mereka hanya bertumpu dari pendapat orang-orang terdahulu, berarti mereka
ini telah jauh bahkan menjauhi kenyataan, sehingga tidak mendapatkan
penghargaan apapun.46 Bahkan, untuk dapat memahami langsung kaitan antara perkembangan
sains dan ayat-ayat al-Qur’an, al-Maraghi banyak berkonsultasi dengan orang di
bidangnya, seperti tulisannya: Kami merintis jalan untuk sampai kepada tingkat pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, sekaligus menunjukkan kaitan dengan pemikiran dan ilmu
pengetahuan lain, yakni mengadakan konsultasi dengan orang-orang ahli di
bidangnya masing-masing. Untuk itu, sengaja kami berkonsultasi dengan para
dokter medis, astronom, sejarawan dan orang-orang bijak untuk mengetahui
pendapat-pendapat mereka sesuai bidangnya masing-masing. f. Gaya Bahasa Mufassir.
Dalam upaya memahami suatu ayat, al-Maraghi lebih dahulu menelaah tulisan
dalam kitab-kitab tafsir klasik, kemudian mengolahnya kembali sesuai dengan
kondisi yang ada pada masa kontemporer. Menurutnya kitab tafsir dengan warna
sendiri yang dibangun dari pendapat para mufassir terdahulu merupakanpenghargaan
atas upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi cukup rasional bahkan
cenderung realistis dalam melihat kecenderungan manusia. Dia menyatakan bahwa masyarakat
selalu berubah, baik dari segi prilaku, pola pikir bahkan gaya bahasanya. Oleh karena
itu menurutnya, mufassir tetap harus mempelajari keadaan masa lalu. Ini
dilakukan menurutnya sebagai bentuk penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh para mufassir masa lalu. Berikut tulisan selengkapnya: Kami
sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai
dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang tentu sangat mudah dimengerti
oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karya itu menggunakan
gaya bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka, karena mampu
menulis dengan cara itu. Mengingat pergantian masa selalu diwarnai dengan
ciri-ciri khusus, baik di bidang paramasastra, tingkah laku dan kerangka berpikir
masyarakat, sudah barang tentu wajar bahkan wajib bagi mufassir masa sekarang
untuk melihat keadaan masa lalu. Dengan demikian, seorang al-Maraghi merasa
berkewajiban memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsir yang mempunyai warna tersendiri
dan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh alam pikiran saat ini. Pepatah
telah mengatakan, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
g. Seleksi terhadap kisah-kisah dalam kitab tafsir Dalam
kitab-kitab tafsir terdahulu, tidak semua cerita dapat diterima keabsahannya
karena di antara cerita tersebut banyak yang berasal dari israiliyât. Oleh
karena itu al-Maraghi menyeleksinya dalam kitab tafsirnya ini. h. Pesatnya
Sarana Komunikasi diMasa Modern Sesuai dengan perkembangan sarana komunikasi,
maka bahasa tafsir sebagai bahasa komunikasi perlu memiliki sifat sederhana yang
mudah dimengerti maksud tujuannya. Inilah yang dilakukan oleh al-Maraghi dalam
menuliskan kitab tafsirnya ini.
i. Jumlah Juz Tafsir Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 jilid,
setiap jilid satu juz Al-Quran, dengan maksud mempermudah para pembaca.
4. Sumber Tafsir al-Maraghi
Setiap mufasir menafsirkan kalam Allah
dalam prakteknya tidak terlepas dari dua sumber. Yaitu ra’yi dan riwayat atau
keduanya. seiring dengan perkembangan zaman, cara mufasir menafsirkan pun
berkembang, namun sumber penafsiran tidak berubah, hanaya saja pada
tafsir-tafsir kontenporer sumber logika yang mendominasi.
Salah satu
tafsir kontenporer adalah tafsir al-Maraghi, maka sudah dapat dipastikan
al-Maraghi dalam menangkap maksud al-Qur’a@n didominasi logika. Namun bukan
berarti al-Maraghi meninggalkan riwayat, melinkan penyeleksian riwayat yang
ketat. Riwayat yang dipakai dalam rujukan menafsirkan al-Qur’a@n adalah riwayat
yang dianggap s}ahih.
Al-Maraghi
tidak memasukan penafsiran israiliat sebagai sumber. Sekalipun ulama sebelumnya
(mufa@sir) dalam hal israiliat terbagi pada tiga golongan. Segolongan ulama
memasukan penafsiran israiliat dan menyebutkan sanad-sanadnya. Golongan kedua
memasukan penafsiran israiliyat dan tidak menyebutkan sanadnya. Ada pun
golongan ketiga yaitu Muhammad Abdu dan Rashid Ridha memasukan penafsiran
israiliyat namun mengomentarinya. Lainhanya dengan Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi,
membuangnya penafsiran irailiyat, menurutnya itu hanya menjauhkan dari tujuan
al-Qur’a@n sebagai kitab hudan[30].
5. Rujukan Tafsîr al-Maraghi
Dalam menyusun kitab tafsirnya, al-Maraghi
menggunakan beberapa kirab tafsir lain sebagai rujukan atau sebagai bahan perbandingannya.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
1) Tafsîr al-Thabarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr at-Tabarî
(wafat 310 H).
2) Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl, Abul-Qasim
Jarul-lah Al-Zamakhsyarî (wafat 538 H).
3) Hasyiah Syarifuddin Al-Hasan Ibnu Muhammad Al-Tiby (wafat 713
H).
4). Anwar al-tanzil lil qadhi^ Na^s}ir al-din Abdullah bin
‘Umar al-Baidha^wi^ (wafat 692 H)
5) Lubab al-Ta'wi1 Fi Ma'ani al-Tanzi1 atau Tafsir al-Khazin, Alauddin
Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil
asy-Syihy al-Khâzin terkenal dengan
Ala al-in al-Khâzin (w. 741 H).
6) Tafsîr Ibnu Katsîr, Imad al-Din Isma'îl bin Umar bin Katsîr atau
Ibnu Kasîr (w. 774 H).
7) Tafsir Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Ma’ruf bi
al-Raghib al-As}faha^niy^
(wafat 105 H)
8) al-Basit} li al-Ima^m Abi al-Hasan al-Wahidi al-Nais^aburiy^
(wafat 468 H)
9) Tafsir Kabi^r (mafatih al-Ghaib) al-Imam Fakhru al-Din
al-Raziy^ (wafat 610 H)
10) Tafsir al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy (wafat 516 H)
11) Gharib al-Qur’a@n li Nidham al-Din al-Hasan bin Muhammad
al-Qaiy
12) al-Bahru al-Muhit}li Atsir al-Din Abi Hiyan Muhammad bin
yusuf al-Andalusiy^ (wafat
740 H)
13) Nadham Durur fi Tanasibi al-Ai wa Sur li Burhan al-Din
Ibra^hi^m bin ‘Umar al-Baqa^’iy (
885 H)
14) Tafsir Abi Muslim al-Asfaha^ni (459 H)
15) Tafsir al-Qa^dhi Abi Bakrin al-Baqilani
16) Tafsir Kha^tib
al-Sharbiniy^ (Siraj al-Munir)
17) Rûh al-Ma'âni Fî Tafsîr Al-Qur'an al-'Azîm wa al-Sab'
al-Matsânî atau Tafsîr al-Alûsî,
Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Alûsî al-Bagdâdî
(w.1270 H/1854 M).
18) Tafsir Munir Rashid Ridha
19) Sirah Ibnu Hisha^m
20) Sharah Alamah Ibnu Hajar al-Bukha^riy
21) Lisan al-‘Arabi Ibnu Mand}ur al-Ifriqiy (wafat 711 H)
22) Sharah al-Qamus lilfairuzabadi (wafat 716 H)
23) al-Hadits al-Mukhtarah lidhiya^i al-Muqadasiy
24) T}abaqah al-Shafi’iy li Ibni Subqiy
25) Jawazir li Ibni Hajar
26)‘Alamu Muqi^’in li Ibni Taimiyah
27) Al-Itqan fi Ulum al-Qur’a@n as-Suyut}i
28) Muqadimah Ibnu Khaldun
29) Mahâsîn al-Ta'wîl atau tafsîr al-Qasimî, Syekh Muhammad
Jamâl al-Dîn bin
Muhammad bin Sa'îd bin Qasim al-Qasimî (w.
1332 H/1914 M).
30) Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M).
31) Tafsîr Jalâlain, Al-Allamâh al-Muhaqqiq Jalâl al-Dîn
al-Suyûthî dan Al-Allamâh al-
Muhaqqiq Jalâl al-Dîn Muhammad ibnu Ahmad
al-Mahallî.[31]
6. S}alat Dalam Penafsiran al-Maraghi
Al-Maraghi dalam menafsirkan s}alat pada
surat al-Baqarah ayat 3 berbeda dengan mufasir lain. Pada umunya mufasir hanya
membahas s}alat dari sisi bahasa dan shar’iy. Lain halnya dengan penafsiran
al-Maraghi selain menafsirkan dari sisi bahasa dan shar’iy. Al-Maraghi membahas
definisi s}alat dari sisi bahasa secara rinci. Do’a dalam perspektif al-Maraghi
maknanya lebih luas. Bisa dengan kata-kata, juga bisa dengan perbuatan atau
bisa dengan keduanya[32].
Hal ini tentu berbeda dengan mufasir sebelumnya[33].
Do’a dapat dilakukan dengan kata-kata dan perbuatan atau keduanya merupakan
penafsiran al-Maraghi terhadap lafadz s}alat, yang tertuang pada surat
al-Baqarah ayat 3. Sungguhpun dalam penafsiran s}alat dari sisi bahasa, namun
hal ini merupakan hal baru dibandingkan dengan penafsiran-penafsiran
sebelumnya, dan ini juga merupakan hal yang menonjol pada penafsiran
al-Maraghi, yang sebelumnya belum ada.
Di bawah ini
merupakan penafsiran al-Maraghi dalam tafsirnya. Yaitu surat al-Baqarah ayat 3.
tûïÏ%©!$#
tbqãZÏB÷sã
Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$#
$®ÿÊEur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka.
Pada bagian ini
penulis tidak akan mengangkat semua penafsiran al-Maraghi yang tertuang dalam
tafsirnya, terutama pada surat al-Baqarah ayat ke 3, karena hal itu memerlukan
pembahasan yang sangat panjang. Untuk mempersingkat sekiranya penulis
mengangkat satu kata, tetapi sungguhpun demikian dapat memberikan gambaran
kepada para pembaca tentang tafsir al-Maraghi.
Kata yang akan penulis angkat
sebagai gambaran penafsiran al-Maraghi yaitu, o4qn=¢Á9$#
hampir semua mufasir menafsirkan lafadz ini dengan pada dua sisi. Sisi
bahasa dan sisi is}tilah. Pada tafsir klasik seperti futuh al-Ilahiyah, S}awi
dan Khazin membahas s}alat baik sisi bahasa maupun is}tilah sama yaitu do’a.
Dari sisi is}tilah semunya tidak ada beda yaitu pendektannya fiqih. Berbeda
sekali tentunya dengan al-Maraghi, al-Maraghi membahas s}alat dari kedua
sisinya sangat rinci dan realistis.
Di bawah ini kutipan tafsir
al-Maraghi. Sengaja penulis angkat agar
mendapat gambaran tentang cara penafsiran al-Maraghi, hal ini tentu mempermudah
bagi para pembaca. Di sisi lain untuk memenyhi permohonan temen-temen yang
sangat mengharapakan ditampilkannya sekelumut tentang tata cara al-Maraghi
menafsirkan al-Qur,a@n.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdu al, al-Sal>am
Ah{mad Nah{ra>wy. Al-Ima>m as-Shafi’y fi Madhhabaiyh al-qad>im
al-jad>id. (Disertasi: 1994)
A.
Steenbrink, Karel. Berapa
aspek tentang Islam di Indonesia Aad ke 19.
(Jakarta: Bulan Bintang. 1984).h.5
Ans{ary, Al, Abdul Wahab bin Ahmad bim Ali. Mizan al-Kubra. (Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia).
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir ( Bandung:
Pustaka Setia) Ct.lll 2005
Bagda>,
al, Ala> al-Di~n Ali bin Muhammad. Tafsi~r Kha>zin.(Dar
al-Fikr)
Baidan,
Nas{ruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’ẫn,(Pustaka
Pelajar Offset 1998).
Bantani,
Al, ShaikhNawawi, Tafsir Marậh Labǐd, (Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani,
Al, ShaikhNawawi, Nihayah al-Tuzain,
Nihayah, (Indonesia: Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bukhari, Imam, al. Matan Bukhari. (Indonesia: Dẫr Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah).
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
Chaer,
abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (Jakara: Rineka Cipta 2000)
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : 1999). Cet.Ke-10
Fakultas
Us{uluddin & Filsafat, Pedoman
Akademik, 2004/2005
Hanafi,
Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1970).
Harun,
Salman. Mutiara al-Qur’a#n, (Logos; Wacana Ilmu Dan Pemikiran 2004)
Husain,
Al, Imam Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad, Khifayatul Akhyar, (Nur Asia)
‘Ima>du al-Din, al-Imam al-Ja>lil. Tafsir
Ibni Kathir. (Sirkah Nurasia)
Internet,
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, UIN Pasca Sarjana 2011
Ja>li~,
al, Sulaiman bin Umar. Al-Futuh{ al-Ilahiyah. (Dar
al-Fikr)
Kahmad, Dadang. Sosiolog Agama (Bandung:
Rosda sep 2000)
Kalil, Shauqi Abu, Atlas al-Quran. (Jakarta: Al-Mahira 2006)
Lubis,
Ibrahim. Agama Islam Suatu Pengantar,
(Jakarta; Galia Indonesi 1982)
Maraghi,al,. Tafsi{r Maraghi. (Dar al-Fikr)
Mahsun. Metode
Penelitian Bahasa. (Jakarta: Raja Grafika Persada 2005)
Muhammad,
Husain, K.H. Fiqih Perempuan: Refleksi
Kyai atas wacana Agama dan Jender, (Yogyakarta: LKS,2000).
Mauidhah, konsep Safaat dalam al-Quran, Tesis, UIN Jakarta 2003
Maulana, Ahmad Gina, Kajian Jender Dalam Tafsir Munir, Skripsi, UIN Jakarta, No.261.
Malik, al-Imam. Al-Muathậ. (Dậr al-Fikr), Kitab Talak.
Hadits ke 1248.h.359
Nasution, Harun, Filsafat & Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang) tahun
1978.
Nisai~, al, Abi Abdi ar-Rahman Ahmad bin Shaib
bin Ali. Tafsi~r Nasai{. (Dar al-Fikr)
Q. S{aleh, KH. Asbab an-Nuzul
(terjemah), (Bandung: Diponogoro) Tahun 2000.
Qurt{ubi, al. al-Ja>mi Liah{kami
al-Qur’a>n. (Dar al-Fikr)
Rahman, Ar,Abdul, Kitab Fiqih Ala al-Madzhab al-Arba’ah. Dar al-Fikr).
Rauf, Mu'min, Tesis PENDEKATAN TAKWIL AL-MARÂGHÎ TERHADAP AYAT-AYAT
MUTASYÂBIHÂT, PROGRAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Dar al-kutub
al-Islamiyyah).
S{awi, Tafsir S{awi. (Dar al-Fikr)
Shaibany, Al, Omar Muhammad Al-Toumy. Falsafat
Pendidkan Islam (Jakarta: Bulan Bintang) Cet. 1979
Shauka>ni,
Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath{u al-Qadi~r. (Dar
al-Fikr)
S{abuni,
As{, Muhammad, ‘Ali. Az-Zawaj al-Islam
Mubakiran (Terjemah; Mas{uri Ikwani), (Jakrta: Pustaka Amani 1996)
S{aleh, A.A, Dahlan, As-Bab an-Nuzul. (Bandung
CV Diponogoro 2000) Edisi2.
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) cet
3 peb 2003
S{idieqy,
As{, Tengku Muhammad
Has{bi. Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’ẫn dan
Tafsir.(semarang: Pustaka Rizqi
Putra Sep 2000).cet.3 edisi 3
S{ihab, Qurais{. Tafsir al-Mis{bah.
(Ciputat: 2000 Lentera Hati).
S{ihab, Qurais. Mukzzat Al-Qur’a#n.
(Bandung: Mizan Des 2003)
S{aw, as{. Tafsir
S{awi, (Jiddah Indonesia)
Syafi’iy, Imam. al-Um, (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Imiyah).
Sha’ra>niy, Al-Imam Abdul Wahab. Al-Anwa>r
al-Qudsiyah. (Dar al-Fikr)
Sûyûthi, as, Rahman, Abdir, bin, Jalaluddin,
Naisaburi, an, Ras{iri, Ahmad, Bin Husain Ali bin. as-Bab an-Nuzul. Daru. Ibnu Hasim.
Tasmara. Toto. Dimens Doa dan Dikir (Yogja
Karta: Dana Bhakti Prima Yasa 1999) cet pertama
Tihani, MA. Pemikiran
Fiqih al-Shaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Disertasi Program Pasca
Sarjana, (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah 1998).
Usmani-al, Shaikh Muhammad bin S{alih. Us{ul fi
al-Tafsir (Jakarta: Darus Sunnah Press) 2004
Zarqani, al, Muhammad Abdul Az{im. Manahil
al-Irfa>n. (Daral-Fikr)
Pedomana
Akademik, Pasca Sarjana, UIN Jakarta 2009-2011
[1] Prof. Yusuf Hamdani Anwar, (ketika menyaimpaikan mata kuliah yang
pertama).
[2] Lihat. DR Nas}ruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran al-Qur’a@n (Yogyakarta: Glagah 1998), h.1. Bandingkan
dengan Prof. Qurais} S}ihab, Sejarah & Ulum al-Qur’a@n (Jakarta:
Pustaka Firdaus cet pertama 1999, cet ketiga 2001), h.172
[3] Lihat Nas}ruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’a@n (Yogyakarta: Glagah 1998) h.13, bandingkan dengan s}awi,
dan futuh al-Ilah}iya^h, dar al-Fikr.
[4]Lihat
Has}bi as}idiqiy, Sejarah
& Peengantar Ilmu al-Qur’a@n dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra) 2000, h.198-199
[5]
Lihat, Hasbi as-S}idiqiy
Sejarah & Peengantar Ilmu al-Qur’a@n dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra) 2000, h.198-199
[6]
Lihat Nafriandi, Makalah pada mata kuliah Tafsir Kontenporer di timur tengah,
(Tafsir al-Manar)h.6
[7]
Lihat surat al-Baqarah ayat, 185
[8] Lihat
Qurais} Tafsir al-Misbah,
(Ciputat: Lentera Hati 200) surat al-Baqarah ayat 2.h.84
[9] Lihat Imam Shafi’iy, al-Um, (Libanon: Dar al-Kutub) jilid 1
[10] Lihat Mus}t}afa Muhammad
‘Ima#rah, Jawa^hir al-Bukha^ri#, Dar al-Kutub, h.11
[12] Hasan
Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam
Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, h. 16.
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT.
Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
[14] H.A Djalal, Tafsir
al-Maraghi dan Tafsir an-Nur, sebuah Studi Perbandingan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), 1985, h. 101.
[16] Muhammad Mustafa al-Maraghi tidak menulis tafsir al-Qur’an
secara lengkap sebagaimana adiknya namun dia juga menamakan tafsirnya itu
dengan Tafsir al-
Maraghi.Tafsir
ini hanya terdiri atas tiga jilid yang masing-masing berjumlah 200 halaman.
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT.
Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT.
Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
[22] 9
Henry Munson JR. Islam
and Revolution in the Middle East, (London: Yale
University Press, 1988), h. 75. Lihat pula MW. Dali, (Ed.) The Cambridge History of Egypt, (London:
Cambridge University Press, 1998), h. 239
[23] al-Tahtawi
misalnya menerjemahkan patrie dengan
kata wathan, d'amour de la patrie:hubb
al-wathan
[24]
Arthur Goldschmidt Jr., Historical
Dictionary of Egypt, (London, The Scarecrow
Press,1994), h. 277
[25]Syahrin Harahap, al-Qur’an
dan Sekularisasi, Kajian terhadap Pemikiran Thaha Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 21-22..
13Ibid, h. 23.
Ibid, h. 25, yang dikutip dari Fadwa el-Gundi, “The Emerging Islamic
Order: The Case
of Egypt,s Contemporary Islamic Movement” dalam Harun Nasution,
et al., Perkembangan
Modern dalam Islam,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 248
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT.
Bandingkan dengan A Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
[28]
Lihat Mus}t}afa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, Juz,1, h.
AYAT-AYATMUTASYÂBIHÂT. Bandingkan dengan A
Baidowi, Safaat dalam al-Qur’a@n.
[30]
Lihat Shaikh Muhammad bin S}alih
al-Utsmani, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta Daru as-sunah Press) 2004,h.118.
bandingkan dengan Tsis Baidhawi, dan Tesis R Mu’min UIN Pasca Jakarta
[31]
Lihat Mus}t}afa al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi (Dar al-Fikr) juz 1 h 15-16 lihat juga Tesis Baidhawi,
Tesis Ra’ruf Mu’min dan Baidhawi UIN
Pasca Sarjana Jakarta
[32]
Lihat Ahmad Mus}t}afa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr Juz 1. H. 27
[33]
Lihat al-Imam as-Saukany, Tafsir Fathu al-Qadir, Dar Fikr Juz 1, h. 56. Bandingkan
Sulaiman bin ‘Umar al-Ajili^
as-Shafi’iy, Tafsir Futuh al-Ilahiyah, Dar al-Fikr, Juz 1, h.23. bandingkan
juga dengan ‘Ala^ al-din ‘Ali bin Muhammad al-Baghda^di^, Tafsir Kha^zin, Dar
al-Fikr, juz1,30.