Senin, 27 Desember 2010

Karakteristik Tafsir Sufi PDF Print E-mail

Kata Kunci: tafsir, metodologi, sufi, isyari>, naz}ari>


I. Pendahuluan

Al-Qur’an yang merupakan bukti atas kebenaran Nabi Muhammad saw. dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia khususnya umat Islam mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang membedakannya dari kitab-kitab suci lainnya. Di antara keistimewaan al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an berlaku di setiap tempat dan waktu
* Gerbang Kusuka
* Home Galileo
* Contact Us
* News
* Links

Weblogic Joomla Template Demo

* Home Galileo
* Tentang Galileo
* BERITA TERBARU
o SOSIALISASI
* detik

Karakteristik Tafsir Sufi PDF Print E-mail

Kata Kunci: tafsir, metodologi, sufi, isyari>, naz}ari>


I. Pendahuluan

Al-Qur’an yang merupakan bukti atas kebenaran Nabi Muhammad saw. dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia khususnya umat Islam mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang membedakannya dari kitab-kitab suci lainnya. Di antara keistimewaan al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an berlaku di setiap tempat dan waktu (s}a>lih likulli zama>n wa maka>n), hal ini bukan tanpa sebab. Para ulama atau manusia dalam setiap tempat dan waktu dituntut untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Usaha-usaha para ulama untuk memahami al-Qur’an tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah tafsir.

Tafsir sebagai sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, adalah suatu hasil ijtihad yang sifatnya subjektif karena sebuah tafsir sangat besar sekali dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah karya tafsir.

Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan. Muhammad Arkoun sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mengatakan bahwa al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak, dengan demikian ayat selalu terbuka untuk ditafsirkan, tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.

Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya. Dalam artikel ini, akan mengangkat salah satu dari corak tafsir tersebut yaitu tafsir sufi atau tasawuf.



II. Corak Tafsir Sufi

1st. Lebih Dekat DenganTasawuf

Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu tasawuf juga dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik.

Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Z|ahabi> membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.

Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H. dan seterusnya), secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum s}u>fiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Ha>syim al-S}u>fi (w. 150 H.).

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H.), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi>/naz}ari> dan tasawuf ‘amali>. Tasawuf falsafi> yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.

Dari hal tersebut di atasi mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mah}abbah, ma’rifah, h}ulu>l dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.

Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya tafsir produk ulama sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi adalah al-Futu>ha>t karya Ibn al-‘Arabi, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m karya al-Tastari dan Haqa>iq al-Tafsir karya al-Salmi.

Dua macam tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi naz}ry dan tafsir sufi Isyari.



B. Karakteristik Tafsir Sufi

Di awal telah disebutkan bahwa dalam metodologi penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.

Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.

1. Tafsir Sufi Naz}ari>

Tafsir Sufi al-Naz}ari> adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhori dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.

Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Naz}ari> yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhory yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futu>hat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wuju>d-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya:

Pertama, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.” Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ketiga, surat Qa>f ayat 16, “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya”. Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi, “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.” Untuk memperkuat tafsiran itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat 17 dari surat Al-Anfa>l: “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan tapi Allah yang melemparkannya.”

Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wuju>d yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Z|ahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlu>l ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Z|ahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.

Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wuju>d-nya diantaranya :

Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:

فادخلي في عبادي. و ا دخلي جنتي

Wadkhuli> jannati>, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.

Selanjutnya al-Z|ahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran naz}ary yang dapat diringkas sebagai berikut :

Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Z|ahabi memberikan contoh tafsir al-Naz}ari> yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :

ورفعناه مكانا عليا

Menurut al-Z|ahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).

Kedua, di dalam tafsir al-Naz}ari>, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata/tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata.

Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.

Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Naz}ari> adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Naz}ari> pada hakikatnya adalah tafsir isyarI> yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Naz}ari> ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.

2. Tafsir Sufi Isya>ri>

Tafsir sufi Isya>rh> adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.

Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’y atau akal.

Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isya>rat. Isya>rah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isya>rah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsi>r, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “Isya>rah”.

Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan z}a>hir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna; z}a>hir, batin, h}ad dan mat}la’. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dhahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) dan Ibnu al-‘Arabh> memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang z}a>hir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya. .

Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ru>h al-Ma’nawi.

Semua tafsir Isya>ri tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.

2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.

3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.

4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zahir.

Contoh penafsiran isya>ri> yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :

فلا تجعلوا لله اندادا


Andadan, beliau al-Tastary menafsirkan anda>dan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud anda>dan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.

Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isya>ri> sahabat yaitu:

Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:

اذا جاء نصر الله والفتح

Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam asebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bhwa ktika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”

Al-Z|ahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi naz}ari> dengan tafsir sufi isya>ri> sebagai berikut :

1. Tafsir sufi naz}ari> dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isya>ri> bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.

2. Dalam tafsir sufi naz}ari> seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isya>ri> asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.

Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menaggapi persoalan ini, perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.

Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dmainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.

Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamh-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.

Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan pada delapan orang yang berhak menerima zakat (mustah}iq al-z}aka>h). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan tujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.

Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.


III. Kesimpulan

Tasawuf dalam perkembangan sejarahnya telah memperkaya khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya fiqh, kalam dan yang lainnya. Tasawuf telah memberikan warna khusus dalam praktik keagamaan para sufi. Dalam praktik-praktik ibadah mereka lebih menekankan pada nilai rasa di balik semua praktik ibadah tersebut. Warna khusus tersebut, bukan saja dalam praktik keagamaan, tetapi dalam penafsiran al-Qur’an-pun mereka punya cara tersendiri sehingga memperkaya corak penafsiran al-Qur’an.

Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.

Metode tafsir yang mereka pakai adalah isyarat atau takwil melalui jalan pengalaman batin yang tentu saja penafsirannya itu tidak bisa lepas sama sekali dari dila>lah a>yat (madlu>l al-a>yat) al-Qur’an Mereka sangat anti akal karena menurutnya akal akan menghalangi mereka untuk bisa mengetahui yang batin.


DAFTAR PUSTAKA


Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Filsafat. Jakarta: Paramadina, 1996.

Mustaqim, Abdul. Pembuatan Buku Daras Madzahib at-Tafsir. Yogayakarta: Fakultas Ushuliuddin IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2001.

Nasution, Harun. Tasawuf, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

--------Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI-Press, 1986.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 2002.

Goldziher, Ignaz. Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar. Baerut Libanon: Da>r Iqra’, 1983 M/1403 H.

Yafie, Alie. Syariah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontektualisai Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Al-Jabiri, M. Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>. Baerut: Markaz Dira>sat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.

Al-Z|ahabi>, Muhammad Husein. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H.



< Prev
[ Back ]

Main Menu
Home Galileo
Tentang Galileo
BERITA TERBARU
detik
SukaNews Online
Edisi Ke II
Link
The University Chicago Press
University Of Idaho
Joomla! Template by Joomlashack
Joomla Templates by JoomlaShack(s}a>lih likulli zama>n wa maka>n), hal ini bukan tanpa sebab. Para ulama atau
manusia dalam setiap tempat dan waktu dituntut untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Usaha-usaha para ulama untuk memahami al-Qur’an tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah tafsir.

Tafsir sebagai sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, adalah suatu hasil ijtihad yang sifatnya subjektif karena sebuah tafsir sangat besar sekali dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah karya tafsir.

Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan. Muhammad Arkoun sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mengatakan bahwa al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak, dengan demikian ayat selalu terbuka untuk ditafsirkan, tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.

Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya. Dalam artikel ini, akan mengangkat salah satu dari corak tafsir tersebut yaitu tafsir sufi atau tasawuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar