Selasa, 28 Desember 2010

perdebatan marah labid

III. SHAYKH NAWAWĪ, POSISI DAN
PEMIKIRAN KALAMNYA

Shaykh Nawawī di bidang aqīdah adalah Ash‘ariyah, di bidang fiqh bermadhhab Shāfi‘ī dan di bidang tarekat mengikuti Qādiriyah.
Karya-karyanya cukup banyak , meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu ke-Islaman: tafsir, hadīth, kalām, fiqh, tasawwuf, nahwu-saraf, madāīh nabawiyah, tārīkh, balaghah dan tajwid, yang karenanya ilmunya bersifat multi disipliner, bagaikan ensiklopedi, general, seperti Ghazalī Jawa. Karyanya yang prestisius ialah Tafsīr Marah Labīd Li Kashf Ma‘na al-Qur‘ān al-Majid, dikenal dengan sebutan Tafsīr al-Munīr. Karena karya-karya Shaykh Nawawī mendapat sebutan Sayyid Ulama al-hijāz.
Kebanyakan karya-karya Shaykh Nawawī adalah berupa sharah,
hashiyah, hāmish dan mukhtasar. Sedangkan karya orisinilnya ialah tafsir Marah Labīd atau tafsir al-Munīr dan ‘Uqūd al-Lujjayn (fiqh gender).
Disamping itu, Shaykh Nawawī juga menaruh nasib bangsanya, yang waktu itu masih dijajah Belanda. Dia memberikan tawsiyahnya doktrin nasionalisme dan patriotisme bahwa perang Sabīlillāh hukumnya fard kifāyah pada setiap tahun terhadap orang-orang kafir yang menjajah negerinya, sedikitnya sekali dalam setahun. Dan bila jihad itu dilakukan lebih dari itu, dipandangnya lebih utama . Hal ini merupakan sebagian dari motivasi Pemberontakan Petani Cilegon tahun 1988, yang dipelopori oleh pengikut tarekat Qādiriyah dan santri-santrinya yang dahulunya tergabung dalam Koloni Jawa dan terutama pada jama‘ah haji.
Perlu disinggung, jika Shaykh Muhammad Abduh, tokoh modernisme di Mesir, banyak menaruh perhatian terhadap isu-isu modern dan menawarkan gagasan-gagasan baru, maka Shaykh Nawawī lebih memberikan perhatian pada isu-isu kehidupan sehari-hari bernuansa fiqh. Apabila penamaan “fiqh berorientasi kemasyarakatan” diterapkan kepada santri-santri Jawa oleh para modernis, maka Shaykh Nawawī layak disebut sebagai “perintis awalnya”. Problem kehidupan terus berkembang mengikuti irama kehidupan manusia. Maka ajaran agama harus mampu merespon terhadapnya. Di sini diperlukan kontektualisasi ajaran agama seiring problema sosial yang terus berkembang.
Dia menekankan totalitas pengamalan ajaran Islam dengan kronologi yang benar, meliputi: shari‘at, tarīqat dan ma‘rifat. Tanpa pengamalan seperti tersebut dipandangnya sebagai sesat dan menyesatkan, sekalipun berdalih telah mencapai tingkat kashshāf atau hakekat.
Dalam karya-karyanya, Shaykh Nawawī menyebutkan latar belakang penulisannya, dengan kata-kata li al-muhtājīn, ‘awd al-barakah, rājiyan al-intifā‘, awrathahu Allah ilmān nāfī‘ā, amaranī ba‘d al-a‘izzah atau talaba minnī mirārā, untuk membantu santri-santri Jawa agar mudah memahami kitab-kitab matan yang masih mujmal.
Sikapnya sangat tawādū dan qanā‘ah, menyebut dirinya sebagai: al-faqīr, al-mu‘tarif bi al-dhanb, al-taqīr, al-mudhnib, al-faqīr, al-rājī min rabbih al-khabīr dan sebagainya. Tampilan cara berpakaian sehari-harinya, dia terbilang sederhana dan demikian pula dia menulis karya-karyanya pada malam hari hanya dengan lampu kecil minyak tanah. Kesemuanya itu menunjukkan sikap kerendahan budinya sekaligus cerminan sufismenya.

Diagram 1. Shaykh Nawawī dan Konteks Sosial































Diagram 2. Genealogi intelektual kyai-kyai besar di Jawa,
terlihat pada diagram berikut











Pada diagram 2, genealogi intelektual kyai-kyai Jawa ternyata bersumber dari Shaykh Nawawī. Shaykh Mahfud al-Tirmisi (w.1918 M) ulama ahli hadith yang memperoleh gelar al-musnid, pengajar di Masjid al-harām adalah muridnya. Dan muridnya yang lain ialah Kyai Khalil Bangkalan yang lebih menonjol dunia esoteriknya dan Kyai Hāshim Ash‘arī Tebuireng yang mengenalkan sistim klasikal pada pengajaran pesantren, yang melahirkan kyai-kyai besar di Jawa dan Madura.

Diagram 3. Mata Rantai Intelektual Ulama-Ulama Jawa Dengan Timur Tengah , sebagaimana diagram berikut:
















Keterangan:




Tampak pada diagram 3 bahwa Shaykh Nawawī menjadi sentral jaringan ulama-ulama Jawa dengan Timur Tengah, pada abad XIX M. Jaringan tersebut telah mulai terjalin sejak abad XVII dan XVIII M. Dan puncak karier akademik ulama Nusantara di Makkah adalah pada abad XIX M, yaitu: Shaykh Abd. Ghanī Bima (tidak ada keterangan dengan keahliannya), Shaykh Khatib Sambas (murshid tarekat Qādiriyah), Shaykh Nawawī (multidispliner keilmuannya), Shaykh Mahfud al-Tirmisi (ahli hadīth) dan Shaykh Khatib al-Minangkabawi (ahli usul). Muara jaringan itu bisa sampai ke Nusantara melalui Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hashim Ash‘arī dan Kyai Raden Asnawi. Dan Shaykh Nawawī adalah ulama Jāwī yang paling populer di Haramayn.
Adapun pemikiran kalam Shaykh Nawawī tertuang pada karya-karya kalamnya: Fath al-Majīd, Tījān al-Durārī, Qatr al-Ghayth, Qāmi‘ al-Tughyān dan Nūr al-Zalām, dan tema-tema kalam yang terdapat pada karya-karyanya yang lain. Dia termasuk mutakallimīn sifātiyyah, artinya tergolong yang ithbāt al-sifat.
Bahasan masalah kalam dibatasi pada: Dhāt dan sifat, Kalām Allah, Ru‘yat Allah dan al-Af‘āl al-‘Ibād. Telah terjadi perdebatan bagaimana cara mengenal Allah, apakah melalui shara‘ lebih dahulu, kemudian baru menggunakan akal fikiran, atau justru sebaliknya. Menurut Sunni bahwa ma‘rifat kepada Allah adalah melalui shara‘ lebih dahulu, kemudian baru menggunakan akal fikiran. Sedangkan menurut Mu‘tazilah berpendapat sebaliknya. Mengenai sifat Allah, Sunni berpendapat ithbāt al-sifat, Mu‘tazilah sebaliknya, nafy al-sifat.
Beriman kepada Allah, berarti harus percaya dengan sepenuh keyakinan akan sifat-sifatNya, yang merupakan sifat-sifat kesempurnaan UlūhiyyahNya. Shaykh Nawawī mengikuti pendahulunya, Imam al-Sanusi dalam sharah Umm al-Barāhīn mengatakan bahwa yang wajib bagiNya ada 20 sifat, dengan klasifikasi sifat-sifatNya, yaitu Nafsiyah Salbiyah, Ma‘ānī dan Ma‘nawiyah. Semua nama-nama Allah yang tercantum dalam al-Qur‘ān adalah sifat-sifatNya, kecuali satu sifat saja yang tidak, yaitu asma “Allah” yang merupakan DhātNya, bukan sifatNya, disebut Ism al-Jalālah. Nama-namaNya disebut al-Asmā‘ al-Husnā.
Relasi antara dhāt dan sifat menjadi perdebatan, apakah sifat itu ‘ayn al-dhāt atau zāidah ‘alā al-dhāt, apakah ia itu qadīm, sementara dhāt juga qadīm? Menurut Mu‘tazilah, bila dhāt itu qadīm dan sifat itu juga qadīm, maka akan terjadi ta‘addud al-qudamā‘. Golongan Māturīdī Samarkand tidak sependapat dengan Mu‘tazilah, karena sebagai Sunnī mereka berpendirian bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Sedangkan golongan Māturīdī Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Persoalan ta‘addud al-qudamā‘, agar tidak menimbulkan kemusyrikan, mereka menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu abadi melalui keabadian yang terdapat dalam essensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri.
Shaykh Nawawī mula-mula berpendapat bahwa al-sifat zāidah ‘alā al-dhāt. Namun demikian, tiga tahun kemudian, dia merubah pendapatnya bahwa al-sifat qāimah al-dhāt. Pendapat ini terkesan ambigu baginya.
Tentang Kalām Allah, Sunnī berpendapat ia adalah qadīm, bukan hādith. Al-Qur‘ān adalah Kalam Nafsi dari Dhāt yang qadīm, tidak berupa huruf-huruf dan suara. Adapun mushaf adalah hādith dari madlulnya yang qadīm.
Shaykh Nawawī berpendapat bahwa harus dibedakan antara kalām Nafsī dengan kalām Lafdī. Kalām Nafsī yang tidak berwujud huruf ataupun suara, yang qāimah ‘alā al-dhāt adalah qadīm, sedangkan al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi SAW adalah hādith. Al-Qur‘ān adalah Kalam Allah, ia merupakan sifat yang ada pada DhātNya. Karena DhātNya itu qadīm, demikian pula KalamNya adalah qadīm juga. Sedangkan al-Qur‘ān yang diturunkan oleh malaikat Jibril AS secara berangsur-angsur selama hampir 23 tahun, ia adalah hādith dari madlulnya yang qadīm.
Tentang ru‘yat, Shaykh Nawawī pendapatnya sejalan dengan Imam al-Ash‘arī, sebagaimana terlihat pada kitab-kitabnya: Maraḥ Labid, Fath al-Majīd, dan Nūr al-Zalam. Ru‘yat adalah suatu yang jāiz di akherat dan di dunia ini adalah mustahil.
Telah terjadi perdebatan pendapat ketika Nabi SAW mi‘rāj. Sahabat Ibn ‘Abbas, Anas, al-Hasan dan Ikrimah berpendapat bahwa Nabi SAW melihat TuhanNya yang tidak dibisa dibayangkan kayfiyahnya. Siti ‘Āishah dan Ibn Mas‘ūd menolak pendapat tersebut, karena yang dilihat olehnya adalah bentuk asli malaikat Jibri AS.
Imam al-Ash‘arī tidak membahas ru‘yat Nabi SAW sewaktu mi‘rāj, sedangkan Shaykh Nawawī membahasnya panjang-lebar dan berpendapat ra‘āhu bi al-jinān.
Mengenai af‘āl al-‘ibād, telah terjadi perdebatan, apakah ia bersifat ikhtiyārī atau ijbārī. Firqah Qadariyah-Mu‘tazilah berseberangan dengan Jabariyah. Al-Ash‘arī bersikap tawassut, dengan teori kasbnya. Kasb menurut al-Ash‘arī adalah suatu perbuatan yang terjadi dengan perantaraan potensi (qudrat) yang diciptakan Tuhan, sehingga kasb menjadi perolehan bagi orang yang dengan potensi tersebut perbuatan itu timbul.
Sekalipun Shaykh Nawawī itu Ash‘ariyah, dalam beberapa masalah lebih maju pemikirannya. Hal itu mungkin pengaruh guru-gurunya yang berasal dari Mesir, yang kemungkinan telah tersentuh oleh pembaharuan. Dalam bidang fiqh dia bermadhhab Shāfi‘ī, tetapi tidak selalu Shāfi‘ī minded. Pada karya-karya fiqhnya, dia sebutkan beberapa pendapat di berbagai madhhab, kadang-kadang dia sebutkan pendapat pribadinya atau kadang-kadang tidak menunjukkan pendiriannya. Di bidang tarekat dia pengikut Qādiriyah, sekalipun kenyataannya lebih dekat sufisme Ghazāli. Namun demikian dia tetap menjalin hubungan spiritual dengan guru tarekatnya, Shaykh Khatib Sambas. Dia mengecam sufisme yang heterodog sinkritis, dan excessive, sufisme yang dipandangnya sesat. Dari uraian tersebut, layak bagi Shaykh Nawawī disebut sebagai “Neo Tradisionalisme”, dan ikut membangun akar pembaharuan Islam di Indonesia. Dia telah membawa isnād-isnād dan silsilah-silsilah ilmu dan tradisi agama pada masa peralihan dari tradisionalisme ke modernisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar